JAKARTA – Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengingatkan seluruh negara dunia untuk mewaspadai ancaman bencana iklim pada 2024.
Dalam laporannya, PBB memprediksi bahwa tahun 2024 akan terjadi peningkatan bencana iklim, harga pangan yang tinggi, dan cuaca yang lebih ekstrem. Laporan tahunan utama ini menjelaskan bagaimana krisis iklim akan memperburuk perekonomian dunia.
Menurut laporan bertajuk World Economic Situation and Prospects 2024 disebutkan bahwa krisis iklim yang sedang berlangsung dan peristiwa cuaca ekstrem akan merusak hasil pertanian dan pariwisata. Sementara itu, ketidakstabilan geopolitik akan terus berdampak buruk pada beberapa subkawasan terutama Sahel dan Afrika Utara.
“Investasi dalam aksi iklim dan pembangunan berkelanjutan gagal total. Kelaparan dan kemiskinan terus meningkat, serta perpecahan yang semakin intens di antara negara-negara menghambat respons yang efektif,” kata Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres dalam kata pengantarnya untuk laporan, seperti dilansir dari UN, Rabu (10/1/2024).
Pada tahun 2024, PBB juga memprediksi bahwa El Nino akan mempengaruhi pola curah hujan di banyak negara Asia, menyebabkan kekeringan atau banjir yang ekstrem dan akibatnya berdampak pada hasil pertanian. Guncangan ini diperkirakan akan berdampak parah terutama bagi negara yang sektor pertaniannya menyumbang bagian terbesar dari PDB.
Lebih lanjut, PBB memperkirakan bahwa kekeringan kemungkinan besar akan terjadi di Amerika Tengah, Asia Selatan, Asia Tenggara, Afrika Selatan, dan Sahel. Badai dan angin topan dapat terjadi di Pasifik tengah dan hujan dapat mempengaruhi pantai khatulistiwa Amerika Selatan.
Dalam laporannya, PBB juga menekankan bahwa pendanaan iklim secara besar-besaran merupakan prioritas yang sangat penting. Menurut mereka, pendanaan saat ini masih jauh di bawah tingkat investasi hijau yang dibutuhkan untuk membatasi kenaikan suhu hingga 1,5 derajat Celcius di atas tingkat pra-industri, seperti yang ditetapkan dalam Perjanjian Paris pada tahun 2015.
Para penulis laporan memperkirakan setidaknya perlu US$150 triliun untuk membiayai berbagai proyek transisi energi hingga tahun 2050. Dan setiap tahunnya, dibutuhkan sekitar US$5,3 triliun untuk mengubah sektor energi global saja.
PBB juga menyoroti pentingnya dana kerugian dan kerusakan iklim (loss and damage) yang telah dibahas sejak COP26 pada 2021. Singkatnya, dana ini merupakan dana untuk membantu negara-negara yang paling terdampak oleh perubahan iklim untuk beradaptasi.
Dana ini secara resmi diadopsi pada COP28, yang diadakan di Dubai pada Desember 2023, dan PBB menyatakan bahwa dana ini sangat penting untuk membantu negara-negara yang rentan dalam mengatasi dampak bencana iklim.
“Kami merekomendasikan pengurangan subsidi bahan bakar fosil, memperkuat peran bank pembangunan multilateral dalam pendanaan iklim, dan mempromosikan transfer teknologi. Itu semua sangat penting untuk memperkuat aksi iklim di seluruh dunia,” kata PBB.
Negara-negara miskin dan berkembang mengalami dampak terburuk dari perubahan iklim, dan efeknya meningkat paling cepat. Namun, negara-negara ini juga terjebak karena dengan utang yang banyak, sehingga hanya memiliki sedikit dana untuk melakukan adaptasi iklim.
“Banyak negara berkembang tidak memiliki sumber daya, teknologi dan kapasitas untuk mengurangi emisi dan beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim,” kata PBB.
Laporan ini jelas menyatakan bahwa kerja sama pembangunan internasional yang efektif sangat dibutuhkan. Tanpa hal tersebut, negara-negara berkembang, terutama yang paling miskin dan rentan, tidak akan mampu melindungi diri mereka sendiri dari bencana iklim yang sedang terjadi. (TR Network)