JAKARTA – Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), menjadi Geothermal Island atau Pulau Panas Bumi. Langkah ini diambil sebagai bagian dari transisi energi nasional dan penggantian penggunaan pembangkit listrik tenaga diesel dengan energi panas bumi yang lebih ramah lingkungan.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) ESDM, Eniya Listiani Dewi, menyatakan bahwa Flores memiliki potensi panas bumi yang luar biasa. Dalam konferensi pers The 11th Indonesia International Geothermal Convention and Exhibition (IIGCE) 2025 di Jakarta, Eniya optimis proyek ini bisa terwujud.
“Mudah-mudahan, Flores itu insya Allah bisa kita jadikan Geothermal Island, karena panas buminya luar biasa,” ungkap Eniya, Senin (14/4/2025).
Menurut Eniya, panas bumi adalah satu-satunya sumber energi terbarukan yang paling memungkinkan untuk dikembangkan di Flores. Sumber energi lain seperti PLTA (pembangkit listrik tenaga air) sulit dikembangkan karena kondisi wilayah yang tandus dan panas. Sementara itu, pengembangan PLTS (pembangkit listrik tenaga surya) membutuhkan lahan luas untuk menggantikan konsumsi listrik dari diesel.
“Satu-satunya anugerah alam yang bisa dimanfaatkan di Flores adalah panas bumi,” ujar Eniya.
Penggunaan diesel di Flores bukan hanya tidak ramah lingkungan, tapi juga menimbulkan beban subsidi yang besar bagi negara. Eniya mencatat bahwa subsidi BBM untuk wilayah Flores saja mencapai sekitar Rp1 triliun setiap tahunnya.
“Itulah yang mendorong kami untuk menyukseskan proyek panas bumi di Flores,” katanya.
Tantangan: Penolakan Masyarakat Terhadap Proyek Panas Bumi
Meski memiliki potensi besar, proyek panas bumi di Flores tidak lepas dari tantangan sosial. Sejak diterbitkannya SK No. 2268 K/30/MEM/2017 yang menetapkan Flores sebagai Geothermal Island, sejumlah proyek seperti di Mataloko (Ngada), Poco Leok, dan Wae Sano mengalami penolakan dari masyarakat, organisasi adat, dan kelompok gereja.
Protes berlangsung selama berbulan-bulan karena kekhawatiran terhadap dampak lingkungan dan sosial dari proyek-proyek tersebut.
“Terus terang, saya sedang didemo di Flores. Tapi kami terus membangun komunikasi dengan Pak Gubernur dan pihak-pihak terkait,” jelas Eniya.
Pemerintah tidak tinggal diam. Eniya menyebutkan bahwa komunikasi intensif telah dilakukan bersama Gubernur NTT Emanuel Melkiades Laka Lena, serta Keuskupan Ende dan badan usaha terkait seperti PT Sokoria Geothermal Indonesia, PT PLN, dan PT Daya Mas Geopatra Energi.
Ia bersama Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung juga merencanakan kunjungan langsung ke Flores guna menindaklanjuti komunikasi dan menyerap aspirasi masyarakat.
“Memang ada sedikit masalah, kami mengakui. Tapi kami yakin komunikasi yang baik akan membuka jalan,” tutup Eniya.
Transformasi Flores menjadi Pulau Panas Bumi merupakan langkah strategis menuju kemandirian energi yang berkelanjutan. Meski dihadapkan pada tantangan sosial, komitmen pemerintah untuk berdialog dan merangkul masyarakat lokal menjadi kunci keberhasilan proyek energi terbarukan ini. (TR Network)