JAKARTA — Guru Besar Perencanaan dan Pengelolaan Hutan Universitas Pattimura, Agustinus Kastanya berpesan agar presiden dan wakil presiden terpilih dalam Pemilihan Umum Tahun 2024 bisa menghentikan aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil.
“Karakteristik ekologi sosial masyarakat pulau-pulau kecil tidak memungkinkan untuk ditambang karena telah menimbulkan kehancuran ekologi dan memicu konflik pada wilayah-wilayah yang ditambang,” ujarnya dalam diskusi bertajuk Menuntut Janji Capres dan Cawapres untuk Selamatkan Pulau Kecil dari Tambang yang dipantau di Jakarta, Kamis.
Agustinus mengungkapkan tantangan terbesar yang dihadapi oleh Indonesia sebagai negara kepulauan adalah dampak pemanasan global dan perubahan iklim.
Menurutnya, kegiatan operasi tambang di pulau-pulau kecil dapat memperparah dampak akibat krisis iklim karena pertambangan menghancurkan hutan dan menghasilkan gas emisi tinggi.
“Ada logam-logam berat yang menghancurkan biodiversitas yang memberikan dampak masif. Karena itu, pertambangan di pulau kecil tidak boleh dilakukan,” ucap Agustinus.
Kegiatan penambangan yang dilakukan pada daerah aliran sungai yang sempit ditambah penggundulan hutan dan erosi, maka seluruh biodiversitas yang ada akan masuk ke laut dan menghancurkan kawasan pesisir, katanya.
“Situasi itu menciptakan penderitaan bagi masyarakat pesisir yang bermukim di pulau-pulau kecil. Saya kira sudah harus kita hentikan untuk tidak boleh ada tambang di pulau-pulau kecil,” tegas Agustinus.
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, tidak ada satu poin yang membolehkan sektor tambang masuk ke pulau-pulau kecil.
Namun, sejak kehadiran Undang-Undang Cipta Kerja serta Undang-Undang Mineral dan Batu Bara telah membuka jalan bagi perusahaan tambang untuk menjalankan bisnis pertambangan di pulau-pulau kecil.
Sementara itu, Guru Besar Perikanan dan Kelautan Universitas Halu Oleo, La Ode Aslan memandang bahwa dua regulasi itu membuat pemerintah daerah tidak bisa berkutik untuk mempertahankan wilayah mereka dari cekaman industri pertambangan karena kebijakan kini diatur oleh pemerintah pusat.
“Itu adalah dua undang-undang yang mengacaukan kondisi pengelolaan pulau-pulau kecil di Indonesia,” kata Aslan.
Lebih lanjut dia mengungkap bahwa tambang telah mengubah air laut menjadi berwarna merah di Wawonii, Provinsi Sulawesi Tenggara. Masyarakat pesisir semakin sulit mencari ikan akibat laut tercemar limbah tambang.
Sedangkan, Kabupaten Konawe Utara yang juga masih di Provinsi Sulawesi Tenggara juga tak luput dari dampak buruk aktivitas tambang.
Aslan menceritakan bahwa daerah itu dulunya adalah sentra rumput laut pada sekitar awal dekade tahun 1990-an. Namun, pada tahun 2017, rumput laut sudah tidak bisa tumbuh ada akibat laut berwarna merah tersemat limbah tambang.
“Itu salah satu bukti dan kita tidak bisa tutupi fakta bahwa terjadi kerusakan akibat aktivitas tambang yang sudah sangat merusak lingkungan di wilayah pesisir,” ujarnya.
Aslan memberikan rekomendasi kepada presiden dan wakil presiden terpilih agar menghentikan aktivitas perusakan lingkungan, seperti penambangan pasir dan penambangan logam berat di pulau-pulau kecil.
Investigasi secara transparan dan akuntabel terhadap kerusakan yang telah terjadi akibat eksploitasi atau eksplorasi tambang di pulau-pulau kecil. Kemudian, revisi atau tinjau ulang Undang-Undang Cipta Kerja serta Undangan-Undang Mineral dan Batu Bara.
Selanjutnya, melakukan pemantauan dan evaluasi rutin (tingkat pencemaran, kerusakan lingkungan, kerusakan biodiversitas) di pulau-pulau kecil. Adapun rekomendasi terakhir adalah pelibatan semua pemangku kepentingan dan konsisten dalam implementasi undangan-undangan atau regulasi terkait.(*)