JAKARTA – Risiko perubahan iklim menjadi ancaman serius bagi masa depan peradaban manusia. Indonesia tak luput dari itu. Proyeksi iklim menunjukkan adanya penurunan curah hujan di hampir sebagian besar wilayah Indonesia. Fenomena cuaca ekstrem yang belakangan kian terasa merupakan salah satu bukti nyata mulai meningkatnya dampak perubahan iklim di Indonesia.
Data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menunjukkan suhu udara rata-rata di Indonesia per bulan Oktober 2023 yang mencapai 27,7 °C merupakan yang tertinggi pertama untuk bulan yang sama sejak tahun 1981. Secara umum Indonesia mengalami kenaikan suhu udara +0,7°C dibandingkan periode rata-rata kurun 1991-2020 yang sebesar 26.8 °C.
“Mungkin angkanya kecil, nol koma sekian, tapi dampak peningkatan suhu ternyata cukup besar. Apalagi kalau terjadi di seluruh dunia. Ini yang sebetulnya kita takutkan,” ujar Pengamat Iklim dan Lingkungan, Emilya Nurjani.
Dosen program studi Geografi Lingkungan, Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada tersebut menjelaskan fenomena pemanasan global akan menimbulkan serangkaian dampak negatif yang berkelindan.
Kenaikan suhu meskipun sedikit akan menyebabkan mencairnya es di kutub. Yang selanjutnya mengakibatkan kenaikan permukaan air laut yang kemudian berdampak antara lain pada berkurangnya daratan, tingginya gelombang laut, dan berbagai bencana hidrometeorologi. Risiko kerawanan pangan pun mengintai sebagai efek lanjutan dari berkurangnya ketersediaan air.
Pemanasan global
Emil menyampaikan faktor utama pemanasan global yang menjadi faktor pemicu mendasar perubahan iklim adalah bertambahnya gas karbon dioksida (CO2) di udara. Sebagaimana diketahui, emisi gas-gas yang dilepaskan ke atmosfer dari berbagai aktivitas manusia di bumi menimbulkan efek rumah kaca di atmosfer. Gas-gas rumah kaca tersebut berupa karbon dioksida (CO2), belerang dioksida (SO2), nitrogen monoksida (NO), nitrogen dioksida (NO2), gas metana (CH4), dan klorofluorokarbon (CFC).
Paparan panas matahari tak bisa terpantul keluar karena tertahan lapisan gas rumah kaca (GRK) yang menebal di atmosfer akibat tidak terserap oleh tumbuhan di darat, maupun rumput laut di perairan karena luas kawasan yang semakin tergerus dan rusaknya ekosistem.
Model iklim yang dijadikan acuan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menunjukkan suhu permukaan global akan meningkat 1,1 hingga 6,4°C antara tahun 1990 hingga 2100 akibat aktivitas manusia.
Indonesia sendiri menempati urutan ketujuh dari 11 negara penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia pada 2022 berdasarkan basis data emisi untuk Penelitian Atmosfer Global (EDGAR) Komisi Eropa. Sementara enam negara teratas penghasil emisi GRK terbesar global 2022 adalah China, Amerika Serikat, UE27, Rusia, dan Brasil.
Menurut EDGAR, Indonesia mengeluarkan 1,24 gigaton setara karbon dioksida (Gt CO2e) pada 2022 dari total emisi GRK dunia yang mencapai 53,79Gt CO2e.
Emil lanjut menjelaskan sumber-sumber emisi antara lain penggunaan kendaraan bermotor, penggunaan listrik, limbah industri, deforestasi, limbah peternakan dan pertanian, dan sisa makanan.
“Di Indonesia, sumber emisi paling besar berasal dari perubahan penggunaan lahan dan pembakaran bahan bakar fosil,” tutur Emil.
Perubahan pemanfaatan lahan misalnya dari lahan hutan menjadi lahan terbangun, dari sawah menjadi pemukiman, atau dari hutan primer menjadi hutan tanaman industri. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat luas tutupan hutan Indonesia telah berkurang 956.258 hektare (ha) dalam kurun 2017-2021 atau setara 0,5% dari total luas daratan Indonesia. Pengurangan luas hutan paling besar terjadi di Kalimantan, Papua, dan Sumatra. Hampir setengah dari total emisi Indonesia berasal dari sektor kehutanan.
Sumber emisi terbesar lainnya yaitu pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam. Bahan bakar fosil ini digunakan misalnya untuk kepentingan sektor industri, transportasi, maupun energi.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) melaporkan emisi GRK sektor industri di Indonesia mencapai 238,1 juta ton CO2e pada 2022. Dalam kurun 2015-2022 mencapai 8-20% dari total emisi GRK nasional. Dengan penyumbang emisi terbesar berasal dari penggunaan energi industri.
Adapun Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, batu bara masih mendominasi bauran energi primer tanah air yakni sebesar 67,21% pada 2022 sejalan dengan naiknya kapasitas pembangkit listrik tenaga uap menjadi 42,1 gigawatt. Sedangkan energi baru terbarukan (EBT) baru mencapai 14,11% pada 2022.
Urgensi mitigasi
Mitigasi perubahan iklim semakin mendesak. Sebagai penyumbang emisi terbesar ketujuh di dunia, langkah dekarbonisasi Indonesia tentu signifikan bagi penanganan perubahan iklim global.
Langkah nyata mitigasi juga berdampak bagi kehidupan 275 juta jiwa penduduk Indonesia saat ini, bahkan eksistensi generasi mendatang.
Data Bank Dunia 2021 menyebutkan Indonesia menempati peringkat ketiga sebagai negara dengan paparan tinggi risiko iklim, baik banjir maupun panas ekstrem. Indonesia semakin rentan karena 65% penduduknya bermukim di wilayah pesisir. Bahkan, 80% bencana alam di Indonesia terjadi akibat perubahan iklim. Tak hanya risiko bencana alam yang tinggi, Roadmap NDC Adaptasi 2020 memperkirakan perubahan iklim juga berpotensi merugikan ekonomi Indonesia sebesar 0,66-3,45% terhadap PDB tahun 2030.
Menyadari kerentanan terhadap krisis iklim, Indonesia turut berkontribusi dalam penanganan isu perubahan iklim dengan meratifikasi Paris Agreement pada tahun 2016 melalui pernyataan komitmen nationally determined contribution (NDC) yang kemudian diperbarui pada 2021 dan 2022.
Dalam target NDC 2022, Indonesia berkomitmen menurunkan emisi GRK sebesar 31,89% dengan kemampuan sendiri dan dapat mencapai 43,20% pada 2030 dengan dukungan internasional baik di bidang pendanaan, teknologi, maupun peningkatan kapasitas.
Lebih lanjut, komitmen pemerintah dalam penanganan perubahan iklim dituangkan dalam RPJMN 2020-2024. Peningkatan kualitas lingkungan hidup, ketahanan bencana dan perubahan iklim, serta pembangunan rendah karbon menjadi program prioritas.
Sementara, prioritas utama penurunan emisi GRK berada pada sektor kehutanan, energi, dan transportasi yang melingkupi 97% dari total target penurunan emisi NDC Indonesia. Lebih jauh lagi, dengan menguatnya tren global terhadap isu perubahan iklim, Indonesia juga telah menargetkan untuk mencapai Emisi Nol Bersih (Net Zero Emission) di tahun 2060 atau lebih awal.
Untuk mendukung pembiayaan pengendalian perubahan iklim pemerintah menggunakan APBN, termasuk menerbitkan instrumen pembiayaan seperti green sukuk, green bonds, dan SDGs bonds.
Beragam stimulus fiskal juga diberikan agar investor tertarik berpartisipasi dalam proyek hijau seperti melalui pemberian tax holiday, tax allowance, dan fasilitas PPN.
Adapun realisasi anggaran perubahan iklim pada 2021 berdasarkan laporan Kementerian Keuangan adalah sebesar Rp112,74 triliun, naik 55,71% dibandingkan tahun 2020.
Beragam tantangan
Langkah mitigasi perubahan iklim tak lepas dari berbagai tantangan. Keterbatasan pendanaan APBN misalnya. Menurut Bank Dunia (2022), alokasi anggaran penanganan perubahan iklim dalam APBN masih relatif kecil dibandingkan dengan kebutuhan untuk mencapai target NDC. Sementara Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu menilai Indonesia membutuhkan dana sebesar 281 miliar dollar AS atau Rp4000-an triliun untuk mencapai target NDC 2030.
Menyadari keterbatasan fiskal tersebut, Pemerintah telah membentuk berbagai lembaga sebagai pendorong masuknya dana-dana nonpublik ataupun sebagai platform kerja sama pendanaan yang bertujuan dekarbonisasi, termasuk Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF), Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH), SDG Indonesia One, dan Indonesia Investment Authority (INA). Selain itu, Indonesia juga telah meluncurkan country platform Energy Mechanism Transition (ETM), bekerja sama dengan Asian Development Bank (ADB), untuk menarik lebih banyak pembiayaan, terutama untuk secara bertahap menghentikan penggunaan pembangkit listrik yang bersumber dari batu bara.
Sementara itu, menurut Emil kondisi geografis Indonesia yang luas dan beragam menjadi tantangan tersendiri. Sehingga di samping kebijakan yang berlaku umum, juga diperlukan kebijakan yang sesuai dengan kondisi wilayah masing-masing daerah.
Tantangan selanjutnya adalah bagaimana mengharmonisasikan aksi perubahan iklim dengan prioritas pembangunan pemerintah. Misalnya, sebagai negara berkembang, Indonesia masih sangat bergantung dengan sumber energi dari bahan bakar fosil seperti batu bara. Bahkan Indonesia menjadi penghasil batu bara ketiga terbesar di dunia setelah Tiongkok dan India. komoditas ini juga signifikan terhadap siklus bisnis dan perdagangan Indonesia. Sedangkan batu bara termasuk energi tak terbarukan.
Lalu dari sektor infrastruktur, di satu sisi pembangunan infrastruktur yang masif diperlukan untuk menggenjot perekonomian. Namun, di sisi lain berdampak terhadap pengurangan lahan terbuka.
Muhamad Chatib Basri dan Teuku Riefky dalam jurnal Keys to Climate Action (2023) memaparkan secara historis Indonesia termasuk penyumbang emisi terbesar karena ketergantungan yang tinggi terhadap energi tak terbarukan dan menjadikan sektor penghasil emisi sebagai mesin pertumbuhan utama.
Di samping itu, tantangan dari segi pendanaan turut menghambat laju penanganan perubahan iklim di Indonesia. Sebab itu, diperlukan dukungan dari seluruh pemangku kepentingan untuk memastikan transisi ke ekonomi hijau yang adil dan terjangkau, tak hanya bagi pemegang kekuasaan. Namun juga bagi kelompok rentan.
Stimulus fiskal harus sejalan dengan pembangunan, prioritas pemerintah, dan kepentingan politik. Sebagaimana dipahami, negara-negara berkembang mengedepankan isu-isu kesehatan, perlindungan sosial, dan dukungan untuk UMKM. Sehingga program-program hijau yang diadopsi ke dalam kebijakan pemerintah pun harus sejalan dengan prioritas tersebut. Beberapa langkah menurut Chatib dan Riefky dapat ditempuh untuk memuluskan transisi ke ekonomi hijau yang adil dan terjangkau.
Pertama, dengan meningkatkan pendapatan negara melalui pengenaan pajak terhadap entitas pemicu dampak negatif bagi lingkungan. Seperti dengan menerapkan pajak karbon, pungutan cukai untuk plastik dan bahan bakar fosil. Langkah tersebut dapat dikombinasikan dengan pengurangan beban subsidi bahan bakar untuk hasil yang lebih optimal.
Kedua, dari sisi belanja, konsolidasi fiskal dapat lebih ditingkatkan dengan meningkatkan kualitas belanja baik dari segi ekonomi maupun lingkungan. Pengalokasian dana harus berorientasi pada sektor ramah lingkungan dengan efek pengganda yang tinggi sehingga pertumbuhan dapat sejalan dengan dekarbonisasi. Seiring dengan itu, selama proses transisi ke ekonomi hijau, kelompok miskin dan rentan harus tetap terlindungi melalui alokasi belanja yang produktif dan tepat sasaran.
“These options, however, need political support if they are to be implemented. Going forward, the green economy needs to be framed as a part of economic development. Treating it as an issue integrated into a bigger development picture will help the movement shed its supposedly elite stature and will hopefully build support from the general public,” tulis Chatib dan Riefky.
Indonesia juga dikatakan akan bisa melaju lebih cepat dalam transisi ke ekonomi hijau apabila mendapatkan lebih banyak dukungan dari pemangku kepentingan global.
Kembali ke alam
Mitigasi perubahan iklim membutuhkan partisipasi berbagai pihak, tak hanya pemerintah sebagai regulator, namun juga pihak swasta hingga masyarakat.
Menurut Emil, swasta berperan karena sektor industri termasuk penyumbang emisi terbesar. Reduksi emisi misalnya bisa dilakukan dengan mengurangi waktu produksi dan menggunakan listrik yang bersumber dari energi baru terbarukan. Lalu, untuk sektor perkantoran juga bisa melakukan mitigasi dengan mengimplementasikan eco office.
Pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) Terapung Cirata di Kab. Purwakarta, Jawa Barat merupakan salah satu wujud pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia sebagai upaya transisi menuju ke energi bersih.
Kementerian ESDM menerangkan PLTS Terapung Cirata merupakan proyek strategis nasional (PSN) yang dimiliki oleh PLN Nusantara Power dan menjadi etalase percepatan transisi energi PT PLN menuju Net Zero Emission (NZE) dan penyediaan tenaga listrik hijau. PLTS tersebut digadang akan berkontribusi terhadap NZE sebesar 245 GWh per tahun dan menekan emisi karbon sebesar 214.000 ton CO2/tahun. PLTS yang berkapasitas 192 MWp ini diperkirakan mampu melistriki 50 ribu rumah di wilayah Indonesia dengan energi bersih.
Proyek tersebut terbangun atas kerja sama antara PLN melalui PLN Nusantara Power dengan Masdar, perusahaan energi yang berbasis di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Serta mendapat dukungan dana dari lembaga keuangan internasional yakni Sumitomo Mitsui Banking Corp, Societe Generale, dan Standard Chartered Bank. Proyek PLTS Terapung terbesar di Asia Tenggara ini diklaim meningkatkan Foreign Direct Investment di Indonesia senilai 143 juta dolar AS.
Di samping dukungan pemerintah dan swasta, kontribusi masyarakat menjadi penentu dalam menyukseskan mitigasi perubahan iklim. Emil menyampaikan masyarakat bisa mulai membiasakan diri atau membangun gaya hidup yang ramah lingkungan. Seperti menanam pohon, mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, mengurangi pemakaian plastik.
“Jadi untuk mencegah pemanasan global itu semua kita kembalikan ke alam. Dengan menanam pohon atau menyediakan ruang terbuka hijau lebih banyak” kata Emil.
Kemudian upaya lainnya misalnya menghemat listrik, mengurangi limbah tekstil dengan membeli pakaian seperlunya, menghabiskan makanan, mendaur ulang sampah, hingga mengolah sampah organik menjadi pupuk kompos.
“Hal-hal kecil ini, kalau dilakukan secara bersama-sama, akan menjadi sebuah aksi global. Juga menjadi sangat berarti,” imbuhnya.
Emil berharap pemerintah bisa melakukan sosialisasi aksi mitigasi perubahan iklim di seluruh jenjang pendidikan, mulai usia dini hingga perguruan tinggi. Sehingga awareness masyarakat di berbagai lapisan terhadap isu perubahan iklim bisa terbangun,
Ia juga mengharapkan pemerintah dapat lebih memberikan dukungan serta apresiasi terhadap gerakan-gerakan mitigasi perubahan iklim baik yang digagas masyarakat, swasta, maupun level pemerintahan.
Keberhasilan Provinsi Kalimantan Timur sebagai wilayah pertama di Indonesia bahkan Asia Pasifik yang sukses memperoleh dana karbon dari Bank Dunia pada 2023 menjadi salah satu contoh gerakan yang menurut Emil perlu didukung dan diupayakan ke wilayah-wilayah lainnya di Indonesia.
Perdagangan karbon tersebut merupakan bagian dari program kemitraan Forest Carbon Partnership Facility Carbon Fund (FCPF CF) yang bertujuan mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, meningkatkan pengelolaan hutan berkelanjutan dan stok karbon hutan di negara berkembang, melalui skema pembayaran berbasis kinerja (result based payment).
Dilansir dari Antara News, hasil perdagangan karbon dioksida (CO2) Provinsi Kaltim dengan Bank Dunia sesuai kontrak adalah senilai 110 juta dollar AS atau setara Rp1,7 triliun untuk target penurunan emisi sebesar 22 juta ton. Target tersebut harus dicapai dalam kurun 18 bulan mulai Juli 2019 hingga Desember 2020 dengan nilai kontrak sebesar 5 dolar AS per ton emisi.
“Keberhasilan mempertahankan hutan, kemudian dikonversi menjadi nilai uang. Itu perlu digerakkan. Jadi hutan alam tidak lagi ditebang untuk dijadikan hutan tanaman industri, melainkan dipertahankan kealamiannya dan nantinya bisa mendapat dana dari carbon trading,” pungkasnya. (Media Keuangan)