JAKARTA – Kalangan anggota DPR RI mempertanyakan rencana pemerintah memanfaatkan 20 juta Hektare hutan untuk pangan, energi dan air.
Anggota Komisi IV DPR RI, Daniel Johan, bahkan meminta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (MenLHK) Raja Juli Antoni menjelaskan secara rinci rencana itu.
Ia mengingatkan bahwa masyarakat sejak lama telah memanfaatkan hutan secara tradisional untuk menunjang kehidupan, seperti melalui hasil alam umbi-umbian.
“Terkait hal tersebut, kita perlu mendengarkan konsep detailnya. Apakah rencana ini akan membuka hutan secara besar-besaran yang berisiko menyebabkan deforestasi, ataukah melalui pendekatan seperti agroforestri, perhutanan sosial, atau jasa lingkungan?” kata Daniel Johan dalam keterangannya, Senin, 6 Januari 2025.
Politisi Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu juga menyoroti target Indonesia untuk mencapai zero net sink pada tahun 2030, yang tampaknya bertentangan dengan wacana pemanfaatan 20 juta hektare lahan hutan.
“Pernyataan Menteri LHK ini perlu menjadi perhatian bersama. Bagaimana kita bisa mencapai zero net sink pada 2030 jika 20 juta hektare hutan akan dibuka?” tanyanya.
Daniel Johan mengingatkan pemerintah untuk mempertimbangkan dampak jangka panjang dari rencana tersebut terhadap kelestarian ekosistem hutan. Menurutnya, konversi hutan menjadi area pertanian, meski dapat meningkatkan produktivitas pangan, berisiko merusak keanekaragaman hayati, ekosistem alami, dan mempercepat perubahan iklim.
“Hutan memiliki peran vital dalam menjaga keseimbangan iklim, melindungi sumber daya air, dan menjadi habitat bagi spesies yang terancam punah. Semua ini harus dipertimbangkan,” ungkapnya.
Meski demikian, Daniel Johan menyatakan dukungannya terhadap visi besar Presiden Prabowo terkait swasembada pangan. Namun, ia menegaskan bahwa kebijakan tersebut harus dijalankan dengan cermat dan tidak mengorbankan kelestarian lingkungan.
“Saya sangat mendukung kebijakan swasembada pangan Presiden Prabowo. Kita harus berdaulat dan mandiri dalam pangan, tetapi para pembantu Presiden harus memastikan rencana ini sejalan dengan kelestarian hutan,” tegasnya.
Sebagai alternatif, Daniel Johan menyarankan agar pemerintah memanfaatkan lahan pertanian yang saat ini belum diusahakan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2019, terdapat sekitar 11,77 juta hektare lahan yang dapat dioptimalkan untuk mendukung swasembada pangan.
“Lahan ini bisa menjadi solusi untuk mengatasi kekurangan lahan pertanian. Dengan begitu, wacana membuka 20 juta hektare hutan dapat dihindari,” tandasnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Ahmad Yohan, mengingatkan agar wacana tersebut harus melalui kajian mendalam dan melibatkan berbagai pihak.
“MenLHK mesti hati-hati, jangan buru-buru memutuskan. Lakukan kajian yang mendalam, ajak akademisi dan masyarakat sipil untuk merancang rencana komprehensif. Pembangunan apa pun harus berjalan seiring dan seimbang dengan kelestarian hutan,” ujar Ahmad Yohan dalam keterangannya, Senin, 6 Januari 2025.
Politisi Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) itu menegaskan bahwa kelestarian hutan dan lingkungan tidak boleh dikorbankan. Ia menekankan bahwa pembangunan dan keberlanjutan hutan harus berjalan beriringan.
“Walaupun demi ketahanan pangan dan energi, tidak boleh sampai merusak kelestarian hutan,” tegasnya.
Ahmad Yohan mengingatkan bahwa jika rencana tersebut dilakukan tanpa kehati-hatian, hal itu tidak hanya akan merusak ekosistem, tetapi juga mengancam masa depan generasi berikutnya.
“Kerugian ekologis akan sangat besar. Berkurangnya tutupan hutan dapat menyebabkan kekeringan, gagal panen, pemanasan global, longsor, banjir bandang, dan dampak negatif lainnya,” tutur legislator asal daerah pemilihan (dapil) NTT I tersebut.
Ia menyarankan agar pemerintah mempertimbangkan cara lain untuk mencapai ketahanan pangan dan energi tanpa melakukan deforestasi. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan teknologi modern.
“Kita memiliki banyak ahli yang memahami cara mencapai ketahanan pangan dan energi tanpa deforestasi. Misalnya, dengan memaksimalkan teknologi pertanian dan energi bersih yang terbarukan,” jelasnya.
Menurut Yohan, teknologi memiliki peran penting dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi pangan. Beberapa langkah konkret yang dapat dilakukan adalah teknologi pemuliaan benih, modernisasi alat pertanian, pembangunan infrastruktur pertanian, penyuluhan petani, serta penyediaan pupuk yang murah dan mudah diakses.
“Dengan teknologi seperti ini, kebutuhan pangan dan energi bisa terpenuhi tanpa harus menebang jutaan hektare hutan untuk lahan baru,” katanya.
Ia menambahkan bahwa kunci keberhasilan mencapai ketahanan pangan dan energi adalah kerja sama erat antara pemerintah, akademisi, dan pakar di bidangnya. Dengan demikian, pemanfaatan teknologi dapat dioptimalkan tanpa harus merusak lingkungan.
“Untuk mencapai ketahanan dan swasembada pangan, kita tidak perlu merusak hutan. Lahan yang sudah ada bisa dimaksimalkan melalui intensifikasi pertanian, misalnya dengan memperbaiki irigasi dan teknologi pertanian,” tutupnya. (TR Network)