RIYADH – Perserikatan Bangsa Bangsa kembali gagal mencapai kesepakatan bersama terkait aksi kolektif mitigasi krisis iklim. Pada pertemuan The United Nations Convention to Combat Desertification (UNCCD) COP 16 di Riyadh, para anggota negara kembali tak mencapai formula bersama dalam memitigasi iklim.
Ketua negosiator lingkungan PBB Juan Carlos Monterrey menilai kegagalan ini disebabkan oleh proses konsensus yang rumit, pengaruh industri bahan bakar fosil, perubahan geopolitik, dan skala besar masalah yang dihadapi.
“Rasanya seperti kita telah kehilangan arah, bukan hanya sebagai negara dan pemerintah, tetapi juga sebagai umat manusia. Seakan kita tidak lagi peduli satu sama lain,” ujar Monterrey dalam COP 16 UNCCD di Riyadh, Selasa, 17 Desember 2024.
Menurut Monterrey, negara-negara seperti Panama harus mengambil langkah mandiri atau bekerja sama dalam kelompok kecil untuk mengatasi krisis iklim. Beberapa pakar bahkan menyarankan gagasan “klub iklim,” yaitu kerja sama antarkelompok negara untuk menyelesaikan isu lingkungan secara lebih efektif.
“Kami perlu jalan alternatif,” tegas Harjeet Singh, pakar dari Fossil Fuels Non-Proliferation Treaty. Ia menyoroti upaya hukum terkait perubahan iklim yang kini mulai berkembang di berbagai belahan dunia. Sebuah kelompok pengacara telah mengajukan 140 gugatan hukum terkait isu ini di berbagai pengadilan global.
Mary Robinson, mantan Presiden Irlandia sekaligus anggota kelompok advokasi The Elders, turut mengkritik sistem PBB yang dinilai sudah tidak efektif. “Sistem PBB adalah sistem terburuk di antara pilihan yang ada. Namun, sayangnya, tidak ada sistem lain,” ujarnya.
Mantan Wakil Presiden Amerika Serikat, Al Gore, menilai upaya yang sama terus-menerus dilakukan tanpa menghasilkan perubahan berarti. Ia mengingatkan bahwa sejak tiga dekade lalu, perdebatan tentang metode pengambilan keputusan sudah terjadi.
Sejarawan negosiasi iklim dari Universitas Cambridge, Joanna Depledge, menjelaskan bahwa pada awal pertemuan perubahan iklim, kelompok lobi industri bahan bakar fosil dan Arab Saudi berusaha keras menggagalkan ide pengambilan keputusan melalui suara mayoritas atau supermayoritas. Sebagai gantinya, mekanisme konsensus diterapkan, di mana setiap keputusan harus disepakati oleh seluruh negara peserta.
“Dengan cara ini, mereka berhasil menghambat dan melemahkan negosiasi,” ujar Depledge.
Direktur Eksekutif PowerShift Africa, Mohamed Adow, menambahkan bahwa sifat dasar konsensus membuat proses menjadi lambat.
“Pada akhirnya, kita bergerak dengan kecepatan pihak yang paling lambat,” katanya.
Para tokoh seperti Al Gore dan Joanna Depledge mengadvokasi perubahan aturan agar pengambilan keputusan di pertemuan lingkungan PBB menggunakan sistem supermayoritas, bukan konsensus. Namun, upaya-upaya sebelumnya selalu menemui kegagalan.
“Multilateralisme tidak mati, namun saat ini disandera oleh segelintir negara yang ingin menghambat kemajuan. Tidak ada contoh yang lebih jelas daripada bagaimana industri bahan bakar fosil membajak pembuatan kebijakan di semua tingkatan,” ujar Al Gore.
Selama 27 tahun negosiasi iklim, perjanjian-perjanjian PBB tidak pernah secara eksplisit menyebut bahan bakar fosil sebagai penyebab pemanasan global atau menyerukan penghentiannya. Baru pada tahun lalu, setelah perdebatan sengit di Dubai, perjanjian tersebut akhirnya menyerukan transisi dari penggunaan bahan bakar fosil sebagai langkah menuju masa depan yang lebih berkelanjutan. (TR Network)