JAKARTA – Pada Desember 2019 lalu, Uni Eropa merilis Kesepakatan Hijau atau European Union Green Deal (EUGD) dengan tujuan mengurangi emisi karbon hingga nol pada 2050 dan mulai diberlakukan pada 2030. Bagaimana dampaknya bagi negara-negara ASEAN, khususnya Indonesia?
Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial Humaniora (OR IPSH) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bekerja sama dengan Wageningen University Belanda, Monash University Malaysia, dan Institut Pertanian Bogor membahasnya dalam workshop bertajuk “The EU Green Deal (EUGD) and ASEAN: Controversies, Ambiguities and Opportunities.
“Dalam diskusi ini, kita mengangkat tiga isu utama yaitu kontroversi, ambiguitas, dan peluang. Ini menjadi concern kita semua dan juga pemerintahan Indonesia tentang isu lingkungan yang harus kita dihadapi dan selesaikan,” kata Kepala OR IPSH BRIN Ahmad Najib Burhani, di Bogor, dikutip Selasa, 10 Desember 2024.
“Kita membicarakan kontroversi dan peluangnya bagi Indonesia. Pada satu sisi, ini menjadi potensi untuk meningkatkan ekonomi kita, juga menjadi potensi kolaborasi dengan dunia barat untuk menjaga planet kita,” tambah Najib.
Dia menuturkan, pertemuan dari berbagai kampus dan lembaga riset Indonesia dan negara ASEAN selama dua hari ini, termasuk Malaysia, Filipina, Singapura dan beberapa negara Eropa seperti Belanda, Inggris, dan Norwegia, diharapkan memberi insight baru untuk melihat peluang ke depan kepada pemerintah tentang beberapa persoalan yang berkaitan dengan EUGD dan upaya menyikapi implementasi dari kebijakan tersebut.
Kepala Pusat Riset Politik BRIN Athiqah Nur Alami menambahkan, diskusi ini krusial dilakukan, karena Indonesia adalah salah satu negara eksportir kelapa sawit. Di mana, komoditas ini menjadi salah satu komoditas yang diatur dalam EUGD.
“Kebijakan EU tidak akan mengekspor komoditas dari hasil deforestasi. Dalam kaitan inilah, workshop ini menjadi penting, karena kita akan mendiskusikan bagaimana langkah antisipasi atau respons negara-negara Asia Tenggara, khususnya Indonesia dalam menghadapi kebijakan tersebut,” ungkap Athiqah.
Athiqah berharap, pascaseminar, para presenter dan peneliti yang memiliki concern di bidang yang sama dapat berkolaborasi membuat proposal riset bersama, dan mendapatkan research grants terkait isu ini.
Tak hanya itu, Guru Besar Ekologi Politik Institut Pertanian Bogor Arya Hadi Dharmawan mengutarakan, EUGD menimbulkan pertanyaan kompleks yang sering muncul. Bagaimana Indonesia akan melakukan navigasi terhadap tekanan, antara kompleksitas lingkungan dan ekonomi yang merupakan prioritas pemerintah. Hal ini menjadi peluang tidak hanya bagi negara Eropa, namun juga Indonesia dan ASEAN.
“Diskusi ini tidak hanya mengacu pada analisis politik dari paper yang dipaparkan, namun kami yakin akan menjembatani antar disiplin ilmu para peneliti dan memperluas jaringan riset kolaborasi,” ucap Arya.
Sementara itu, Profesor Wegeningan University Belanda Otto Hospes menambahkan, diskusi ini dapat menyelaraskan dan mengembangkan gagasan terkait EUGD di antara negara-negara ASEAN dan Eropa. Sehingga dapat saling memperkuat dan mengupayakan kolaborasi dan berkoordinasi dengan pemerintah pada tingkat sub-level terkait implementasi EUDG.
“BRIN memainkan peran penting dan dapat mengupayakan kerja sama dengan para peneliti secara regional dan internasional dengan memadukan berbagai disiplin ilmu dalam upaya menyikapi kebijakan green economy,” papar Otto.
Dalam laporannya, Peneliti Pusat Riset Politik BRIN yang juga ketua panitia seminar, Dini Suryani menyebutkan, adapun dampak terbesar yang diperdebatkan dalam diskusi ini adalah tentang legitimasi dan aspek keadilan.
“Tujuan workshop untuk menggali wawasan tentang tindakan dari berbagai actor, baik pemerintah, lembaga ilmiah, maupun masyarakat sipil dalam debat EUGD dan ASEAN. Melalui workshop ini, diharapkan dapat dihasilkan berbagai publikasi ilmiah internasional yang menjadi referensi penting dalam diskusi global mengenai isu EUDG dan ASEAN terhadap proses transisi energi berkelanjutan,” imbuhnya. (TR Network)