JAKARTA – Pemerintah Indonesia mendorong penyelesaian Paris Rule Book melalui adopsi keputusan yang substansial, yaitu artikel 6 Perjanjian Paris dalam penyelenggaran Conference of the Parties (COP) 26 di Glasgow, Inggris.
“Indonesia juga memiliki harapan mengenai substansi negosiasi, di mana Indonesia menginginkan agar kepentingan nasionalnya diakomodasi, seperti kerangka waktu umum untuk Nationally Determined Contributions (NDC), Transparansi atau masalah metodologi berdasarkan Perjanjian Paris, kerugian dan kerusakan, tujuan global untuk adaptasi, dan aspek pendanaan,” kata Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya dalam pertemuan daring, Jumat (10/9/2021) malam yang membahas penyelenggaraan COP ke 26 (COP26) di Glasgow, Inggris pada 31 Oktober – 12 November 2021.
Pertemuan ini membahas tentang skenario, isu utama dan krusial tentang perubahan iklim dan harapan kepada negara anggota di dunia, serta mendengarkan kemajuan agenda dan aksi perubahan iklim di Indonesia dalam agenda lintas kementerian di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi, yang memberikan atensi besar mengenai agenda green dalam membangun Indonesia.
Hadir dalam pertemuan ini Menteri ESDM Arifin Tasrif dan empat wakil Menteri KLHK, Kemlu, Kementerian BUMN dan Kemkeu, serta Sekretaris Eksekutif United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) Patricia Espinosa, yang juga didampingi para direktur dan adviser senior UNFCCC .
Siti Nurbaya juga menegaskan dan memberikan elaborasi berkenaan target NDC Indonesia yang cukup ambisius dibuktikan dengan kerja lapangan sebagai implementasinya.
Menurut Menteri, data Update NDC (UNDC) untuk penurunan emisi harus dibaca dengan target 41% dalam kerja keras implementasi, perkuat upaya adaptasi sekuat mitigasi dan perluas obyek baru dengan sasaran obyek ke marine ecosystem terutama mangrove dan terumbu karang, dukungan blue carbon serta dukungan kerja sama, finansial dan teknologi termasuk dengan dunia usaha.
Pada sektor hutan dan land use ditegaskan Siti Nurbaya tentang agenda khusus FoLU Netsink 2030 atas pertimbangan dan perumusan teknis yang rinci dan matang. Pertimbangan kunci agenda netral karbon sektor hutan dimaksud setelah pengalaman nyata Indonesia berdasarkan pada scientific sense dan pengalaman atau bukti lapangan.
Telah terjadi penurunan deforestasi tahun 2019-2020 sebesar 78% sebagai angka deforestation rate terendah sejak tahun 1990, yaitu sebesar 115 ribu ha. Sebelumnya di tahun 2018-2019 seluas 460 ribu ha, tahun 2014-2015 seluas 1,09 juta ha, dan tahun 1996-2000 seluas 3,51 juta ha.
Menurut Siti Nurbaya, sejak tahun 2019 Indonesia menegaskan moratorium permanen seluas 66,2 juta ha untuk tidak diberikan lagi izin baru. Penetapan areal bernilai konservasi atau high conservation value forest (HCVF) seluas 3,87 juta ha di areal konsesi HPH dna HTI serta sekitar 1,34 juta Ha HCVF di areal perkebunan sawit.
Luas areal terbakar akibat kebakaran hutan dan lahan juga telah menurun tajam di tahun 2020, yaitu 82% dengan perkiraan emisi GRK menurun hingga sebesar sekitar 93%.
Demikian pula rehabilitasi gambut seluas 3,74 juta ha melalui kegiatan re-wetting gambut, menjaga agar gambut tetap basah, dengan infrastruktur sekat kanal, sumur bor, dan dengan pengendalian rencana kerja dan pemantauan tinggi muka air gambut, dan ketaatan konsesi dan pembinaan pengelolaan gambut pada 600 ribu ha areal masyarakat.
Begitu pula telah dilakukan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan dari 1,53 juta ha dan rehabilitasi mangrove 18.000 ha tahun 2020, dan tahun 2021 mencakup areal 40.000 hingga 83.000 ha, serta hingga 2024 diproyeksikan akan ditanam hingga 600.000 ha.
Akses perhutanan sosial seluas 4,72 juta ha untuk dikelola oleh masyarakat telah mencakup 7.212 kelompok dan 1,03 juta kepala keluarga. Dan tentu saja langkah penegakan hukum dengan operasi 1.658 kali untuk pengamanan hutan sekitar 25 juta ha, pengawasan 1.174 kali di areal konsesi dan penerapan sebanyak 1882 sanksi administratif kepada perusahaan, serta 29 gugatan perdata ke pengadilan.
Siti Nurbaya menegaskan bahwa praktik itu sudah berjalan dalam kurun waktu 5-7 tahun hingga saat ini, dan saatnya kini memantapkan kebijakan dan implementasi tersebut dalam standar operasional prosedur (SOP) yang bisa dituangkan dalam pedoman kerja ke depan berupa manual, tutorial, dan lan-lain.
“Indonesia berpandangan bahwa komitmen untuk meningkatkan ambisi negara berkembang terkait transisi energi juga perlu didukung oleh komitmen penyediaan dana yang memadai. Hal ini sejalan dengan Indonesia yang lebih menekankan pada upaya peningkatan berbasis ambisi atas pencapaian selama ini, bukan sekadar kemauan politik tanpa landasan yang kokoh,” tegasnya .
Sementara itu, Menteri ESDM Arifin Tasrif pun menyatakan untuk mendukung upaya penanggulangan perubahan iklim melalui pengurangan emisi dari sektor energi, dia dan jajarannya telah menyusun peta jalan (road map) transisi energi menuju netral karbon di sektor energi.
Dijelaskan pula untuk peta jalan pengurangan batubara secara rinci dari waktu ke waktu yang cukup detil dan menunjukkan tentang implementasi yang disiapkan.
Sekretaris Eksekutif UNFCCC Patricia Espinosa menyatakan bahwa langkah-langkah Indonesia sangat impresif dan dia menyatakan sangat mengapresiasi.
Partricia juga menyatakan capaian-capaian yang telah Indonesia kerjakan dalam penanggulangan perubahan iklim patut menjadi contoh bagi negara-negara lain di dunia.
Dia meyakini dan mengetahui jika Pemerintah Indonesia sangat serius dalam isu penanggulangan perubahan iklim, karena pencapaian yang dilakukan Indonesia tidaklah mudah, diperlukan kerja sama teknis yang baik lintas sektor dan juga dukungan politik yang kuat pada setiap penerbitan kebijakan-kebijakan terkait penanggulangan perubahan iklim. (ATN)