JAKARTA – Pemerintah Indonesia telah meningkatkan target pengurangan emisi karbon dari 29% atau 835 juta ton CO2 menjadi 32% atau 912 juta ton CO2 pada 2030 mendatang.
Komitmen itu menjadi ketetapan terbaru Enhanced-Nationally Determined Contribution (E-NDC) Indonesia dalam gelaran COP 28 Dubai tahun ini.
“Pada sektor energi, Indonesia meningkatkan target pengurangan emisi menjadi 358 juta CO2 pada 2030, dengan mengembangkan energi terbarukan, efisiensi energi, bahan bakar rendah karbon, dan teknologi batubara bersih,” kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif di Dubai, Uni Emirat Arab, Selasa (5/12) waktu setempat.
Di hadapan forum ETC, Arifin menyampaikan bahwa Indonesia memiliki potensi energi terbarukan terbilang besar, yakni 3.687 gigawatt (GW). Dari total tersebut, potensi energi surya menjadi yang terbesar mencapai 3.294 GW.
“Menyadari perlunya pemanfaatan potensi energi terbarukan, baru-baru ini kami mencapai tonggak sejarah baru dengan membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung Cirata dengan kapasitas 145 Megawatt, yang terbesar di kawasan Asia Tenggara,” kata Arifin.
Proyek Cirata memiliki berbagai tujuan, termasuk memanfaatkan lahan reservoir dari Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Cirata untuk menghasilkan listrik secara mandiri dan memenuhi meningkatnya permintaan energi terbarukan di sistem kelistrikan Pulau Jawa.
Sebagai wujud komitmen dalam melawan perubahan iklim, Indonesia telah menetapkan target ambisius dalam mencapai Net Zero Emission di tahun 2060 atau lebih cepat.
Untuk mencapai target tersebut, Pemerintah berencana untuk menghasilkan listrik sebesar 708 GW, di mana 96 persennya berasal dari pembangkit listrik energi terbarukan, dan 4 persen sisanya dari tenaga nuklir.
Adapun investasi yang dibutuhkan untuk pembangunan pembangkit listrik dan transmisinya diperkirakan sekitar US$1,108 miliar, dengan investasi tambahan sebesar US$28,5 miliar sampai 2060.
Menyongsong 2030, Pemerintah berkomitmen untuk mencapai NZE melalui strategi ganda yang mencakup pengembangan dari sisi suplai, sesuai yang diuraikan pada Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, dan sisi demand, termasuk adopsi kendaraan listrik, kompor induksi, mandatori B40, dan peningkatan praktik manajemen energi di berbagai sektor.
“Meski banyak tantangan di masa depan, serta kami pun menyadari adanya hambatan pada teknologi, rantai pasokan, infrastruktur, pendanaan, dan insentif. Namun, transisi energi yang berkeadilan tetap menjadi prioritas utama kami,” kata Arifin.
Selain itu, sejalan dengan regulasi terkait Konservasi Energi yang terbaru, kewajiban pengelolaan energi diperluas untuk pengguna energi tahunan, dengan batasan khusus yang ditetapkan untuk sektor industri sebesar 4.000 (Ton Oil Equivalent/TOE), transportasi sebesar 4.000 TOE, dan untuk sektor komersial 500 TOE.
“Kemudian, untuk lebih memperkuat komitmen kami terhadap efisiensi energi, kami telah menerapkan kebijakan Standar Kinerja Energi Minimum dan Label Energi untuk enam peralatan utama: AC, lemari es, kipas angin, lampu LED, penanak nasi, dan etalase berpendingin. Kebijakan-kebijakan ini diharapkan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pencapaian target NDC,” kata Arifin. (TR Network)