JAKARTA – Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) bersama Bank Indonesia meluncurkan Buku Kajian Stabilitas Keuangan No. 43 dan Kalkulator Hijau pada Rabu (2/10) di Jakarta.
Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan, Nani Hendiarti berharap aplikasi dan buku ini dapat menjadi salah satu media perhitungan dan pemantauan emisi karbon yang bisa digunakan oleh sektor industri dalam upaya menuju perbankan hijau.
“Semoga ini mendorong partisipasi aktif industri perbankan untuk berkontribusi dalam pencapaian komitmen nasional penurunan emisi GRK serta meningkatkan kualitas penyusunan Laporan Tahunan Perusahaan sesuai dengan IFRS Sustainability Reporting Standards. Sebagai informasi buku pedoman dan aplikasi BI Kalkulator hijau sudah direview dan mendapatkan approval dari KLHK,” jelas Deputi Nani.
Deputi Gubernur Bank Indonesia, Juda Agung menekankan bahwa terdapat 3 tantangan Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) yang perlu menjadi perhatian bersama.
Pertama, adanya pergeseran lansekap perekonomian dunia sejalan dengan semakin meredanya ketidakpastian kebijakan moneter negara maju dan melambatnya tekanan inflasi global.
Kedua, risiko operasional yang muncul dari digitalisasi keuangan dalam bentuk ancaman siber, risiko fraud, dan risiko operasional dari layanan penyedia teknologi kritikal. Ketiga, risiko perubahan iklim yang termaterialisasi menjadi risiko fisik dan risiko transisi.
“Oleh karena itu, BI bersinergi dengan Kemenko Marves menginisiasi Kalkulator Hijau sebagai langkah nasional dalam mencapai target net zero emission. Kalkulator Hijau menyediakan pendekatan yang mudah dan sistematis dalam menghitung emisi dari aktivitas ekonomi, sekaligus membantu perusahaan memahami dan mengurangi dampak lingkungannya,” jelas Deputi Juda.
Transisi menuju ekonomi netral karbon membutuhkan peningkatan investasi hijau yang sebagian besar bersumber dari pembiayaan sektor keuangan. Pembiayaan publik diprakirakan hanya mampu mendukung sekitar 34% dari total kebutuhan investasi berkelanjutan sebesar US $281 miliar untuk mencapai NDC 2030.
Oleh karena itu, Deputi Nani mengungkapkan untuk menutup kekurangan pembiayaannya, kebijakan keuangan berkelanjutan menjadi kunci untuk mendorong pembiayaan transisi.
“Pemerintah Indonesia melalui Kemenko Marves mengembangkan strategi pembiayaan campuran (blended finance) dalam bentuk organisasi internasional yang baru yang dikenal dengan G20 Bali Global Blended Finance Alliance (GBFA). GBFA diharapkan lahir sebelum COP29 Baku pada November tahun ini,” ungkap Deputi Nani.
Selain itu, dalam mendukung pembiayaan transisi guna memitigasi risiko sistemik dari perubahan iklim, Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) memberikan mandat kepada Kementerian Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) guna melakukan koordinasi dalam menyusun dan menetapkan strategi, kebijakan, dan program Keuangan Berkelanjutan, di mana BI memiliki kewenangan untuk mengembangkan Keuangan Berkelanjutan.
Program dimaksud antara lain bahwa Bank harus meningkatkan porsi pembiayaan rendah emisi dan menurunkan emisi bank. Dalam rangka pengakuan emisi karbon debitur sebagai emisi karbon Lembaga Keuangan dan investor, maka Laporan Keberlanjutan yang berisi informasi emisi karbon debitur dapat menjadi pertimbangan pemberian pembiayaan di masa depan.
“Saya mengapresiasi dan berterima kasih atas kerja keras tim hingga berhasil menyelesaikan seluruh proses penyusunan Kalkulator Hijau dengan baik. Sebagai produk anak bangsa, maka terbuka peluang untuk dikembangkan ke versi berikutnya yang lebih maju lagi. Semoga Perbankan Hijau di Indonesia semakin maju!” tutup Deputi Nani. (TR Network)