SURABAYA – Indonesia menghadapi tantangan sistematis dalam membangun masa depan perairan laut.
Salah satu tantangan paling terbesar adalah pencemaran limbah industri dan rumah tangga, tumpahan minyak serta limbah plastik.
“Bahkan, Indonesia menjadi salah satu penyumbang limbah plastik terbesar di dunia setelah China,” ungkap Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Suharso Monoarfa di forum diskusi yang digelar Alumni Swedia bertajuk “Penguatan Blue Economy Pasca-Pandemi Covid-19 Menuju Ekonomi Indonesia Tangguh” secara daring, Minggu (15/8/2021).
Menurut Suharso, untuk menekan tingkat pencemaran laut, dibutuhkan gerakan bersama membangun kesadaran masyarakat merawat samudera Indonesia yang luar biasa luasnya. Berbagai gerakan peduli lingkungan harus ditumbuhkan.
“Deklarasi Juanda yang menjadi salah satu tonggak penting sejarah kemaritiman Indonesia menyiratkan, bahwa membangun bangsa dan perekonomian harus berbasis pada potensi dan kedaulatan negara kepulauan,” jelasnya.
Lebih jauh Suharso memaparkan, Indonesia secara bertahap mulai orientasi pembangunan.
Implementasi ekonomi biru dengan strategi jelas dan terarah menjadi pilihan strategis agar dapat memelihara ekosistem kelautan sekaligus memaksimalkan besarnya potensi sektor itu.
“Salah satu strategi yang bisa dilakukan penggunaan energi bersih berbasis laut, karena laut memiliki potensi energi yang bersih dan terbarukan sangat besar,” jelasnya.
Perencanaan ekonom Indonesia terkait isu ekonomi biru (blue ekonomy), telah diturunkan dalam perencanaan pembangunan jangka menengah nasional. Ekonomi biru menjadi bagian dari dua prioritas nasonal. Harapannya, sektor kelautan dapat memberikan dukungan besar di masa depan untuk memperkuat perekonomian nasional.
“Dengan dicantumkan dalam pembangunan menengah nasional, maka sektor kelautan sangat berperan penting dalam agenda pembangunan Indonesia,” tandasnya. (ATN)