JAKARTA – Laporan United Nations Office for Disaster Risk Reduction pada 2022 menyebutkan dalam 20 tahun terakhir, jumlah bencana alam terkait perubahan iklim meningkat hampir dua kali lipat.
Sementara, Laporan dari UN Environment Programme tahun 2022 juga mencatat, tanpa aksi dan intervensi yang tegas, temperatur suhu bumi diperkirakan meningkat mencapai tiga derajat Celcius yang dapat mengakibatkan bumi menjadi tempat tidak layak huni.
Situasi perubahan iklim berdampak tidak proporsional bagi perempuan dan anak perempuan. Perubahan iklim juga berisiko memundurkan pencapaian kesetaraan gender.
“Berbagai strategi perlu dilakukan untuk meningkatkan ketahanan perempuan terhadap dampak perubahan iklim baik dalam aksi-aksi mitigasi maupun adaptasi,” kata Asisten Deputi Pengarusutamaan Gender Bidang Sosial Budaya, Eko Novi Ariyanti dalam diskusi “EmpowerHER: Women Leading the Triple E Green Revolution” yang digelar PBB Perempuan dan Green Welfare Indonesia, akhir pekan lalu.
Kegiatan ini untuk mengadvokasi pentingnya kesetaraan gender dalam upaya mengatasi perubahan iklim. Acara ini juga menekankan pentingnya kepemimpinan dan partisipasi bermakna perempuan dalam pengambilan keputusan terkait perubahan iklim, serta peran orang muda dalam edukasi dan aksi iklim.
“Perempuan didorong untuk dapat menjadi pelopor atau agen perubahan melalui penguatan peran dan keterlibatan perempuan itu sendiri,” kata Eko.
PBB mencatat perempuan bertanggung jawab atas separuh produksi pangan dunia. Di negara-negara berkembang, mereka bahkan memproduksi hingga 80 persen makanan.
Sebagai petani, perempuan belajar bagaimana mengatasi dan beradaptasi dengan perubahan iklim. Contohnya adalah dengan mempraktikkan pertanian berkelanjutan yang selaras dengan alam, beralih ke benih yang tahan kekeringan, menggunakan teknik pengelolaan tanah yang berdampak rendah atau organik, atau memimpin upaya penghijauan dan restorasi berbasis masyarakat.
“Aksi iklim membutuhkan kolaborasi multipihak dan kita harus mengapresiasi kontribusi dari perempuan dan perempuan muda dalam mengatasi perubahan iklim, serta upaya pelestarian lingkungan di semua tingkatan. Suara, agensi dan partisipasi mereka perlu lebih didukung, diakui, dan dihargai,” kata Officer in Charge for Country Representative, UN Women Indonesia Dwi Faiz.
Dia menekankan, memastikan lingkungan yang memberdayakan dan mendukung kepemimpinan dan partisipasi bermakna perempuan dan perempuan muda adalah sebuah investasi berkelanjutan. Tujuannya untuk memastikan pengelolaan sumber daya alam, aksi iklim, dan mitigasi bencana yang lebih inklusif dan berkeadilan.
PBB menyatakan krisis iklim tidak berdampak pada semua orang secara merata. Perempuan dan anak perempuan menghadapi dampak yang tidak proporsional dari perubahan iklim.
Di daerah pedesaan, perempuan dan anak perempuan sering kali bertanggung jawab untuk mengamankan makanan, air, dan kayu bakar untuk keluarga mereka.
Selama masa kekeringan dan curah hujan yang tidak menentu, perempuan pedesaan bekerja lebih keras, berjalan lebih jauh, dan menghabiskan lebih banyak waktu untuk mengamankan pendapatan dan sumber daya bagi keluarga mereka. Hal ini juga dapat membuat mereka lebih rentan terhadap peningkatan risiko kekerasan berbasis gender, karena perubahan iklim memperparah konflik, ketidaksetaraan, dan kerentanan yang sudah ada.
Ketika terjadi bencana cuaca ekstrem, perempuan dan anak-anak memiliki kemungkinan 14 kali lebih besar untuk meninggal dibandingkan laki-laki, sebagian besar disebabkan oleh terbatasnya akses terhadap informasi, mobilitas yang terbatas, pengambilan keputusan, dan sumber daya.
Diperkirakan empat dari lima orang yang mengungsi akibat dampak perubahan iklim adalah perempuan dan anak perempuan. Bencana akut juga dapat mengganggu layanan penting, termasuk layanan kesehatan seksual dan reproduksi, sehingga memperparah dampak negatif bagi perempuan dan anak perempuan. (TR Network)