JAKARTA – Aktivitas penangkapan ikan di lautan turut berkonstibusi terhadap emisi karbon.
Studi baru para ilmuwan menemukan bahwa penangkapan ikan dengan metode cantrang dasar laut (bottom trawling) melepaskan polusi karbon dioksida (CO2) yang sangat siginifikan.
Dipublikasikan di Frontiers in Marine Science, para peneliti mengungkap bahwa praktik bottom trawl melepaskan gumpalan karbon ke atmosfer, yang seharusnya bisa tersimpan dengan aman selama ribuan tahun di dasar laut.
Peneliti juga menemukan bahwa 55-60 persen dari karbon dioksida yang dilepaskan dari dasar laut oleh bottom trawling akan masuk ke atmosfer dalam waktu 9 tahun. Jumlah karbon yang dilepaskan dari praktik bottom trawling ke atmosfer setiap tahun, diperkirakan dua kali lipat lebih besar dari emisi tahunan pembakaran bahan bakar seluruh armada penangkapan ikan global (sekitar 4 juta kapal).
“Kami telah lama mengetahui bahwa metode penangkapan ikan bottom trawling yang menyeret jaring dengan pemberat dari dasar laut, beberapa di antaranya bisa seberat 10 pesawat jet 747, sangat merusak kehidupan laut dan habitatnya,” kata Dr Trisha Atwood dari Utah State University dan National Geographic Pristine Seas.
“Dan sekarang penelitian kami menunjukkan bahwa lebih dari setengah karbon yang dilepaskan oleh bottom trawling pada akhirnya terlepas ke atmosfer sebagai karbon dioksida dalam kurun waktu sekitar 10 tahun, yang berkontribusi terhadap pemanasan global. Sama seperti merusak hutan, mengeruk dasar laut menyebabkan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki pada iklim, masyarakat, dan satwa liar,” tegas Atwood seperti dilansir dari Phys, Senin (22/1/2024).
Penelitian yang berjudul “Atmospheric CO2 emissions and ocean acidification from bottom-trawling” ini dilakukan oleh tim ahli iklim dan lautan global dari Utah State University, NASA Goddard Institute for Space Studies, University of California Santa Barbara, Columbia University, James Cook University, dan National Geographic Pristine Seas.
Para peneliti menggunakan data bottom trawling yang dilakukan secara global antara tahun 1996-2020 dan model-model canggih untuk menghitung berapa banyak karbon dioksida yang dihasilkan oleh bottom trawling yang pada akhirnya masuk ke atmosfer.
Penelitian baru ini mengidentifikasi wilayah lautan di mana emisi karbon dari bottom trawling sangat tinggi, termasuk Laut China Timur, Laut Baltic, Laut Utara, dan Laut Greenland.
Para peneliti menyimpulkan bahwa Asia Tenggara, Teluk Benggala, Laut Arab, beberapa bagian Eropa, dan Teluk Meksiko juga kemungkinan besar merupakan sumber utama emisi karbon akibat bottom trawling. Akan tetapi, hingga saat ini peneliti tidak memiliki data yang memadai tentang tingkat dan intensitas bottom trawling di daerah-daerah ini.
Direktur Eksekutif Pristine Seas, Dr Enric Sala, mengatakan bahwa sejauh ini, negara-negara tidak memperhitungkan emisi karbon yang signifikan dari bottom trawling dalam aksi iklim mereka.
“Penelitian kami memperjelas bahwa mengatasi masalah ini dan emisi laut lainnya sangat penting untuk memperlambat pemanasan planet ini, selain memulihkan ekosistem laut. Kabar baiknya adalah bahwa mengurangi emisi karbon dari bottom trawling di dasar laut akan memberikan manfaat langsung. Kabar buruknya, penundaan tindakan akan memastikan bahwa emisi dari bottom trawling akan terus merembes ke atmosfer dalam satu dekade mendatang,” tegas Sala.
Studi baru ini juga menilai apa yang terjadi pada karbon yang tetap terperangkap di perairan laut setelah penangkapan ikan dengan metode bottom trawling. Studi tersebut menyimpulkan bahwa antara 40-45 persen dari total karbon yang dilepaskan dari dasar laut oleh bottom trawling tetap berada di dalam air, sehingga menyebabkan pengasaman laut yang lebih besar secara lokal. Peningkatan keasaman ini merusak kehidupan tanaman dan hewan di daerah tempat kegiatan penangkapan ikan berlangsung.
“Ada lebih banyak masalah dengan bottom trawling di dasar laut daripada sekadar dampak dari keanekaragaman hayati dan keberlanjutan, misalnya. Namun, ‘deforestasi laut’ ini cukup besar untuk dicatat dan dinilai. Semoga hal ini dapat mengarah pada upaya kebijakan yang dapat memaksimalkan manfaat dari semua dampak yang ada,” kata Gavin A Schmidt, Direktur NASA Goddard Institute for Space Studies. (TR)