JAKARTA – Raja Ampat bukan hanya gugusan surga karang di ujung timur Indonesia, ia adalah mahkota biodiversitas dunia. Di perairannya hidup lebih dari 75% spesies karang global, rumah bagi ribuan jenis ikan, penyu, hingga pari manta.
Setiap jengkal tanah dan laut di sana adalah laboratorium kehidupan yang tak tergantikan. Maka ketika pemerintah membuka izin tambang nikel di wilayah ini, tak ada kata yang lebih tepat selain: kebodohan besar-besaran.
Bagaimana mungkin negeri ini rela menukar ekosistem paling berharga di muka bumi dengan tumpukan tanah merah yang akan habis dalam hitungan dekade? Tambang nikel bukan sekadar proyek ekonomi, ia adalah tiket cepat menuju kehancuran lingkungan yang permanen.
Mengorbankan Surga Demi Logam Murahan
Nikel dipuja-puji sebagai “logam masa depan” untuk baterai kendaraan listrik. Tapi fakta yang dikubur dalam-dalam adalah ini: Indonesia bukan pemain utama teknologi hijau, kita hanya menjadi penyedia bahan mentah yang ditambang dengan cara brutal dan dijual murah ke luar negeri. Negara tidak sedang mengejar peradaban, tapi justru memperbudak tanahnya sendiri demi kepentingan korporasi global dan oligarki lokal.
Ketika tambang masuk ke Raja Ampat, air akan tercemar logam berat, terumbu karang akan mati perlahan, dan biota laut akan punah satu per satu. Apakah harga satu baterai mobil Tesla setimpal dengan matinya sebuah dunia bawah laut yang tidak dimiliki negara manapun selain kita?
Bencana Sosial yang Tidak Terelakkan
Tambang nikel bukan hanya merusak alam, ia memecah masyarakat adat, menghancurkan sumber penghidupan nelayan, dan menciptakan ketimpangan sosial. Di banyak wilayah Papua Barat, izin tambang diberikan tanpa konsultasi yang layak dengan pemilik ulayat. Rakyat setempat dihadapkan pada dilema: tunduk pada logika uang tambang atau terusir dari tanah leluhur.
Ini bukan pembangunan. Ini kolonialisme gaya baru, dengan topeng investasi dan jargon hilirisasi. Pemerintah pusat bertindak sebagai makelar, menjual tanah Papua seolah milik warisan nenek moyangnya sendiri.
Kebijakan Tanpa Akal Sehat
Raja Ampat telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi laut kelas dunia. Bahkan dunia internasional berlomba-lomba menjaga wilayah ini dari kerusakan. Tapi ironisnya, justru pemerintah Indonesia yang kini menjadi ancaman terbesar bagi Raja Ampat sendiri. Membuka tambang di wilayah ini sama saja dengan menyayat leher sendiri atas nama kemajuan palsu.
Di mana nalar pembangunan berkelanjutan? Di mana komitmen terhadap konservasi? Di mana logika ESG (Environmental, Social, Governance) yang digembar-gemborkan pejabat setiap pidato investasi?
Saatnya Berkata: Cukup!
Kita tidak butuh pertumbuhan ekonomi yang membunuh masa depan. Kita tidak butuh lapangan kerja semu yang datang dari proyek tambang yang hanya berlangsung sebentar tapi meninggalkan kehancuran abadi. Kita tidak butuh pemimpin yang menjual surga demi keuntungan jangka pendek.
Yang kita butuhkan adalah keberanian kolektif untuk berkata: Cukup. Hentikan tambang nikel di Raja Ampat. Karena jika kita gagal mempertahankan tempat paling sakral di negeri ini, kita telah gagal sebagai bangsa. (Redaksi)