JAKARTA – Pengambangan energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia dalam rangka mitigasi perubahan iklim membutuhkan keterlibatan banyak pihak. Demikian rangkuman hasil studi konsorsium SNAPFI tentang perubahan iklim di Indonesia rentang waktu 2020-2023.
Konsorsium SNAPFI ini merupakan tim proyek penelitian kolaboratif antara Pusat Perubahan Iklim Institut Teknologi Bandung (PPI-ITB) dengan Deutsches Institut für Wirtschaftsforschung (Institut Jerman untuk Penelitian Ekonomi/DIW) Berlin yang dimulai pada 2019.
Studi SNAPFI ini berfokus pada model tata kelola iklim di sektor energi Indonesia. Penelitian sendiri bertujuan untuk mendukung implementasi National Determined Contributions (NDC) di setiap negara dengan memberikan saran kebijakan yang terkait dengan isu-isu perubahan iklim.
Di Indonesia, studi penelitian berfokus pada tata kelola perubahan iklim di sektor energi dan strategi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca; serta pendanaan iklim dan strategi adaptasi untuk mengatasi perubahan iklim.
Anggota Tim Penelitian SNAPFI PPI-ITB Niken Prilandita menyampaikan bahwa kebijakan iklim memiliki panggung depan dan belakang karena adanya dualisme, karena adanya pengusaha yang menjadi penguasa.
Studi tahun pertama (2020), analisis terhadap pemangku kepentingan menunjukkan bahwa KLHK dan Bappenas adalah dua aktor utama dalam manajemen perubahan iklim di Indonesia. ESDM juga menjadi pemain penting, mengingat sektor energi sebagai kontributor terbesar kedua untuk tujuan NDC.
Di sektor energi tersebut, DEN menjadi instansi pusat dalam mengawasi dan mengkoordinasi departemen terkait dalam implementasi NDC. Analisis pemangku kepentingan juga menunjukkan bahwa tata kelola iklim di sektor energi memiliki banyak pemangkar yang terlibat dari berbagai sektor dan perspektif.
Studi tahun ketiga (2022), ditemukan bahwa keterlibatan sektor swasta dalam pengembangan EBT diperlukan, terutama di negara-negara berkembang di mana pendanaan publik tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan iklim dan kurangnya kapasitas pemerintah lokal dalam pembangunan EBT.
Pendanaan untuk EBT di Indonesia masih terbatas meskipun EBT dimaksudkan untuk menjadi kontributor pertama dalam pengurangan emisi GRK.
“Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan EBT. Namun, di sisi lain, Indonesia juga menghadapi berbagai tantangan dalam tata kelola energi, seperti ekonomi yang tidak stabil, peraturan dan kebijakan yang rumit, dan investor kurang tertarik untuk mengembangkan EBT,” ungkap Niken dalam Simposium Pusat Perubahan Iklim ITB 2023.
Sektor swasta, kata dia, dapat berkontribusi secara substansial pada kemajuan sektor energi terbarukan dalam hal pembiayaan, dan/atau kontributor riset dan pengembangan (R&D).
Studi tahun keempat (2023), mengidentifikasi model tata kelola iklim-energi Indonesia melalui kerangka pengelolaan iklim, termasuk aktor/institusi kunci, kebijakan kunci, proses kebijakan, dan pembiayaan. Mengenai aktor/institusi kunci, ditemukan bahwa: Para aktor yang berperan dalam menghasilkan kebijakan iklim-energi adalah Bappenas, KLHK, ESDM, dan DEN. Namun, hanya ESDM dan DEN yang tetap paling berpengaruh di dalam tata kelola tersebut.
Studi ini juga menemukan, bahwa seringkali terjadi konflik internal yang disebabkan oleh kepentingan yang berbeda.
Sementara itu, Kepala PPI ITB Djoko Santoso Abi Suroso menyampaikan bahwa riset mengenai geothermal sebagai salah satu EBT di Indonesia juga sudah cukup banyak dilakukan. Namun, lanjutnya, yang menjadi perhatian khusus adalah kurangnya sosialisasi Geothermal di lingkup masyarakat.
“Sebelum UU panas bumi pada 2014, pemanfaatan panas bumi di area konservasi itu dilarang, namun saat ini sudah ada pembaharuan karena luasan wilayah untuk geothermal tidak terlalu besar, namun permasalahannya adalah kurangnya sosialisasi dan menyebabkan ketakutan kepada masyarakat lokal akibat dampaknya,” katanya. (TR Network)