JAKARTA – Masa depan anak-anak di sebagian wilayah di Indonesia kini dalam masalah besar.
Pasalnya, hasil studi Save the Children Indonesia pada November 2023 di Lombok Barat, Sumba Timur dan Kupang, terdapat sejumlah masalah yang bersumber dari bencana kekeringan seperti kelangkaan air, ketersediaan pangan yang memperburuk masalah kesehatan, dan gangguan pendidikan pada anak.
“Studi kami jelas memaparkan bahwa kelangkaan air berdampak pada kesehatan dan pendidikan anak. Banyak anak di daerah yang terdampak mengalami infeksi saluran pernapasan akut selama kekeringan berkepanjangan dan ini menyebabkan mereka tidak dapat masuk sekolah,” kata Interim Chief of Advocacy, Campaign, Communication & Media – Save the Children Indonesia, Tata Sudrajat melalui keterangan persnya, Minggu (24/12/2023).
Tata menambahkan, masalah kerawanan pangan dapat berkontribusi pada angka prevalansi stunting yang tinggi. Selain itu, risiko angka perkawinan anak ditemukan meningkat karena situasi sulit tersebut.
Contoh di Lombok Barat, Sejak Juli 2023 debit air minum bersih turun dari 100 liter per detik ke 30 liter per detik.
“Kekeringan ini terjadi lebih awal dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Kondisi kekeringan, yang ditandai oleh kelangkaan air dan perubahan lingkungan, secara langsung memengaruhi ketersediaan sumber daya pangan dan air,” jelas Tata.
Tata meyakini, langkanya air ini dapat berkontribusi pada kerawanan pasokan pangan dan kurangnya keragaman pangan yang pada akhirnya memengaruhi asupan gizi kelompok rentan, terutama anak-anak di bawah lima tahun.
Terbukti, prevalensi stunting di Lombok Barat cukup tinggi hingga tahun 2023, mencapai 13,63%.
Senada dengan itu, lanjut Tata, studi kasus yang ditemukan di Sumba Timur, kekeringan membuat warga harus melakukan perjalanan 1,5 – 3 km ke mata air setiap pukul 5 pagi. Tidak jarang anak-anak juga dilibatkan dalam hal tersebut.
“Kemudian di Kupang, tingkat air sumur bor dibeberapa titik mengalami penurunan yang signifikan dan hal ini menganggu distribusi air ke masyarakat setempat termasuk ke area sawah. Tak jarang dari masyarakat juga harus membeli air di desa-desa terdekat,” ungkap Tata.
Stres dan Emosi
Tata menyebut, situasi sulit menyebabkan stres dan tekanan emosional dalam keluarga meningkat. Sebab intensifikasi persaingan untuk sumber daya yang langka seperti air makin ketat antar satu dan lainnya.
“Konflik rumah tangga yang berujung pada kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak. Data UPTD PPA telah menerima dan mengelola lebih dari 200 kasus dari Januari hingga Juli 2023, diantarnya adalah kasus kekerasan fisik dan seksual. Dalam beberapa kasus kesehatan mental orangtua dan anak juga harus menjadi perhatian,” catat Tata.
Laporan Global Save the Children “Generation Hope” tahun 2022, memaparkan bahwa diperkirakan 774 juta anak di seluruh dunia—atau sepertiga dari populasi anak dunia—hidup dengan kemiskinan yang parah dan risiko iklim yang tinggi.
Secara global, Indonesia menempati peringkat ke-9 tertinggi terkait jumlah anak yang mengalami ancaman kekeringan dan kemiskinan.
Akibatnya, anak-anak menanggung beban yang tidak proporsional karena tumbuh dalam situasi yang mengancam dan membuatnya lebih rentan secara fisik, sosial dan ekonomi.
“Krisis iklim adalah krisis hak-hak anak. Maka, di tahun 2024, kami mendorong ada langkah aksi yang nyata untuk lebih banyak mendiskusikan perubahan iklim dari sisi anak-anak,” tegas Tata.
Tata berharap ada keterlibatan aktif seluruh pihak yang mampu mendorong kebijakan dan program untuk membantu anak dan keluarga. Terutama, mereka yang paling terdampak oleh krisis iklim.
“Tujuannya, agar dapat mengatasi kesulitan, beradaptasi serta bersikap dan sesuai perubahan yang terjadi,” ajak Tata.
Urgensi 2024
Tata memastikan, Save the Children Indonesia akan terus menyuarakan urgensi 2024 menuju Indonesia Emas 2045. Caranya, adalah dengan sinergitas program pemenuhan hak-hak anak dan perlindungan khusus anak yang menjangkau anak dan keluarga yang paling terdampak oleh krisis iklim.
“Libatkan anak-anak dan orang muda sebagai pemangku kepentingan yang setara dan penggagas perubahan untuk mengatasi krisis iklim dengan membangun platform yang ramah dan aman,” saran Tata.
“Kepentingan terbaik bagi anak harus dikedepankan dalam konteks RPJPN 2025 – 2024, RPJMN 2025 – 2029, Program Penghapusan Kemiskinan Ekstrem, maupun dalam Pendekatan Adaptasi Iklim yang berpusat pada anak,” tandas Tata. (TR Network)