JAKARTA – Banjir bandang berasosiasi dengan longsor terjadi pada tanggal 1 Desember 2023 sekitar pukul 21.00 WIB di wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) Asahan Toba yaitu Sub Subdas Nambunga dengan luas Daerah Tangkapan Air (DTA) adalah 478,28 ha.
Area terdampak banjir merupakan daerah perladangan, pertanian, dan pemukiman yang berada bagian hilir sungai dan secara administratif merupakan Desa Simangulampe, Kecamatan Baktiraja, Kabupaten Humbang Hasundutan.
Kondisi tersebut diperparah dengan aliran Sungai Sibuni-buni yang meluap dengan debit limpasan melebihi kapasitas pengaliran. Aliran air membawa material berupa gravel (bongkahan batuan).
Batuan induk daerah tersebut berupa batu lempung yang tingkat konsolidasi materialnya rendah, sehingga mudah hancur dan bersifat lepas-lepas dan selanjutnya mengalami longsoran yang dipicu oleh intensitas hujan yang tinggi.
Direktur Perencanaan dan Pengawasan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, M. Saparis Soedarjanto, menyampaikan laporan analisis kejadian banjir bandang di DAS Asahan Toba, Kabupaten Samosir, Provinsi Sumatera Utara tersebut.
Saparis mengatakan penyebab banjir yaitu curah hujan yang tinggi pada hulu DTA sebesar 41 mm/hari, yang menghasilkan debit aliran 20,3 m³/detik. Jumlah ini melebihi kapasitas pengaliran normal di angka 2,8 m³/detik.
“Jadi berdasarkan analisis yang kami lakukan, penyebab banjir adanya curah hujan yang tinggi, sementara kapasitas pengaliran sungai lebih kecil dari debit banjir. Pendangkalan pada alur sungai semakin menurunkan kapasitas pengaliran, sehingga luapan meningkat,” katanya, Rabu, 6 Desember 2023, di Jakarta.
Dari hasil pengamatan juga didapat material yang terbawa banjir merupakan hasil longsoran tipe “rock fall” atau runtuhan. Proses longsor tipe rock fall ini juga menghasilkan materian endapan yang didominasi oleh gravel.
Hal ini sejalan dengan konfigurasi topografis DTA banjir dan jenis batuannya yang terdiri dari batu lempung yang mudah hancur dan bersifat lepas-lepas. Areal ini merupakan batuan sedimen hasil pengendapan berbeda periode. Selain itu, akibat proses litostatis, tekanan dari lapisan atasnya berupa endapan baru, misal abu volkan dari letusan Toba sehingga bentuknya pipih-pipih dan mudah hancur.
Analisis peta tutupan lahan menunjukkan DTA banjir terdiri dari pertanian lahan kering 320,64 ha, dan semak/belukar 157,64 ha. Kemudian, dari tingkat lahan kritisnya berada dalam kondisi kritis 151,34 ha; agak kritis 133,96 ha; dan potensial kritis 192,99 ha. Sementara peta fungsi kawasan DTA banjir menunjukan areal berupa APL 379,88 ha; Hutan Lindung 95,31 ha; dan tubuh air 3,09 ha.
Adapun solusi yang perlu dilakukan kedepan diantaranya pembuatan bangunan konservasi tanah dan air. Pelebaran dan pengerukan alur sungai juga perlu dilakukan yang disertai dengan Rehabilitasi Hutan dan Lahan pada Lahan kritis di bagian hulunya. Selain itu, sosialisasi pemahaman Konservasi Tanah dan RHL serta tanggap bencana pada masyarakat juga penting untuk dilakukan. (TR Network)