JAKARTA – Indonesia menghadapi situasi darurat akibat perubahan iklim global.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mencatat dampak perubahan iklim di Indonesia khususnya di wilayah pesisir telah mengakibatkan tenggelamnya ribuan desa. Setiap tahun, satu hektare tanah hilang di sepanjang kawasan pesisir Demak, Jawa Tengah, akibat meningkatnya permukaan air laut.
Desa pertama yang mulai tenggelam akibat abrasi adalah dukuh Tambaksari, dukuh ini mulai abrasi dari tahun 1997. Saat ini masih ada sembilan kepala keluarga dengan total 45 jiwa yang masih bertahan hidup.
Desa kedua yang mulai terdampak abrasi adalah dukuh Rejosari Senik mulai terendam air sejak 2000. Setelah warga menuntut relokasi pada tahun 2005, mereka dipindahkan ke Desa Gemulak dan Sidogema di Kecamatan Sayung. Meski demikian, masih ada satu kepala keluarga dengan total lima jiwa yang bertahan hidup sampai sekarang.
Dukuh ketiga, Bedono, juga mulai tergenang air tahun 2005, pada tahun tahun 2010 menyusul dua dusun tergenang air, yaitu dusun Mondoliko dengan total warga yang masih bertahan 95 kepala keluarga dan dusun Timbulsloko dengan total warga yang masih bertahan 150 kepala keluarga.
Pada masa yang akan datang, Walhi memperkirakan lebih dari 12 ribu desa pesisir di Indonesia akan terancam tenggelam akibat kenaikan air laut yang disebabkan oleh krisis iklim. Sepanjang tahun 2017 sampai dengan tahun 2020, Walhi mencatat sebanyak 5.416 desa pesisir yang tenggelam karena banjir rob.
Selain desa, Walhi juga mencatat tenggelamnya kota-kota di pesisir Indonesia. Walhi memperkirakan 199 kota atau kabupaten yang berada di kawasan pesisir di Indonesia akan terkena banjir rob tahunan pada 2050.
Dampaknya, sekitar 118.000 hektare wilayah akan terendam air laut. Berdasarkan penelitian sebelumnya, sebanyak 23 juta warga terdampak. Bahkan, kerugian ekonomi diperkirakan mencapai Rp 1.576 triliun. Sebanyak 567 dari 515 kota atau kabupaten di Indonesia, berada di kawasan pesisir.
Perubahan iklim juga menghancurkan kehidupan ekonomi nelayan serta jumlah nelayan meninggal di laut lebih banyak. Berdasarkan catatan WALHI, dalam satu tahun nelayan hanya bisa melaut selama enam bulan.
Enam bulan sisanya mereka harus alih profesi menjadi kuli kasar atau pedagang asongan. Setiap tahun, (rata-rata) 100 nelayan hilang/meninggal di laut akibat melaut pada saat cuaca yang tidak menentu.
Jumlah nelayan yang meninggal di laut terus mengalami peningkatan sepanjang tahun 2010-2020. Tahun 2010 jumlah nelayan yang meninggal tercatat sebanyak 87 orang. Namun pada tahun 2020, jumlahnya meningkat menjadi 251 orang.
Walhi menegaskan situasi genting akibat krisis iklim ini terbukti memperburuk kehidupan masyarakat pesisir, khususnya nelayan tradisional dan atau nelayan skala kecil, serta perempuan nelayan di Indonesia.
Dalam jangka panjang, dampak buruk krisis iklim akan memaksa lebih dari 23 juta orang masyarakat pesisir harus mengungsi dari kampung halamannya pada tahun 2050 mereka dinamakan pengungsi iklim (climate refugee). (TR Network)