JAKARTA – Perubahan iklim adalah tantangan besar yang harus dihadapi oleh seluruh umat manusia. Kenaikan suhu global, cuaca ekstrem, kenaikan permukaan laut, dan perubahan ekosistem adalah masalah serius yang sedang dihadapi dunia saat ini.
Untuk menghadapinya, upaya global terus menerus dilakukan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan menggantikan bahan bakar fosil dengan sumber energi yang lebih bersih. Pengembangan dan pemanfaatan energi bersih seperti hidrogen menjadi langkah penting dalam mengatasi perubahan iklim.
Bahan bakar hidrogen adalah bahan bakar revolusioner yang saat ini menjadi perhatian global karena potensinya untuk menyediakan sumber energi bersih tanpa menghasilkan emisi gas rumah kaca yang merusak lingkungan. Namun, produksi hidrogen konvensional sering kali mahal dan memerlukan konsumsi energi yang besar. Selain dari proses manufaktur, ternyata hidrogen juga dapat terbentuk secara alami oleh proses geologi.
“Selama ini, hidrogen alami dianggap tidak dapat terakumulasi di alam, akan tetapi temuan akumulasi hidrogen alami di Bourekebogou, Mali, mematahkan asumsi tersebut. Hal ini mendorong perlombaan untuk menemukan hidrogen yang terakumulasi secara geologis di berbagai belahan dunia,” ujar Edy Slameto, Kepala Pusat Survei Geologi Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, di Bandung, Selasa, 25 Juni 2024.
Edy menjelaskan, hidrogen alami dapat dihasilkan dari beberapa proses geologi, salah satunya adalah “serpentinisasi”. Proses ini terjadi akibat reaksi batuan ultramafik dengan air pada suhu dan tekanan tertentu untuk menghasilkan mineral serpentin dan gas hidrogen.
“Batuan ultramafik ini sendiri merupakan bagian dari ofiolit yaitu fosil kerak samudera yang terangkat ke permukaan akibat proses tektonik jutaan tahun yang lalu. Sebaran batuan ofiolit yang luas di Indonesia terdapat di wilayah Kalimantan Selatan, Sulawesi, Halmahera, dan Papua,” jelas Edy.
Berdasarkan survei awal yang dilakukan Badan Geologi, ditemukan potensi hidrogen alami di Sulawesi Tengah yang memiliki sebaran batuan ultramafik yang paling luas di Indonesia.
Badan Geologi pada tahun 2023 melakukan survei pendahuluan di daerah One Pute Jaya, Kabupaten Morowali, dan Tanjung Api, Kabupaten Tojo Una-Una, Sulawesi Tengah untuk mengidentifikasi adanya potensi hidrogen alami. Hasil survei tersebut tidak hanya mengejutkan, tetapi juga membawa kabar baik bagi masa depan energi bersih.
“Tidak seorangpun yang menyangka bahwa api abadi Tanjung Api yang telah dicatat oleh Belanda pada tahun 1869 (sebelumnya dinamai “Kaap Api”) dan lokasi pemandian air panas yang biasa dikunjungi untuk berwisata ini menyimpan bukti kemunculan hidrogen alami di permukaan,” pungkas Edy
Menurut Edy, api abadi di Tanjung Api dan mata air panas di daerah One Pute memang terbukti mengandung gas hidrogen alami, sebesar +- 20-35 % dan +- 8,5%. Gelembung-gelembung gas yang muncul di bawah permukaan laut maupun kolam mata air adalah gas hidrogen yang berasal dari proses serpentinisasi yang terjadi di bawah permukaan bumi.
“Diperkirakan, munculnya gas hidrogen ini berhubungan dengan adanya Patahan Balantak dan Patahan Matano, yang menjadi jalur migrasi gas ke permukaan. Fenomena inilah yang menyebabkan gas hidrogen keluar di Tanjung Api dan muncul bersama mata air panas One Pute,”jelas Edy.
“Kisah tentang abi abadi Tanjung Api dan mata air One Pute mengingatkan kita akan kekayaan alam yang dimiliki Indonesia, bukan hanya dalam bentuk minyak bumi, gas alam, dan mineral, tetapi juga dalam bentuk sumber energi bersih yang dapat menjadi game changer dalam mengatasi perubahan iklim”.
Keberadaan hidrogen alami ini bisa menjadi tonggak dalam mewujudkan masa depan yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan. Potensi sumber hidrogen alami di Indonesia cukup besar, karena selain terbentuk oleh proses serpentinisasi, hidrogen alami juga dapat terbentuk akibat proses radiolisis pada batuan mengandung unsur radioaktif, kematangan tinggi pada bahan organik (overmature) dan magma degassing pada lapangan panas bumi.
“Semoga penyelidikan ini terus berkembang dan mampu memberikan manfaat besar dalam mendukung program Net Zero Emission yang telah dicanangkan Indonesia pada tahun 2060,” imbuhnya. (TR Network)