JAKARTA – Peneliti University of Hawaii di Manoa Amerika A.L. Blake melakukan penelitian di Pulau Alor Nusa Tenggara Timur (NTT) seputar tanaman, dan hubungannya dengan bahasa berupa praktik tutur Suku Abui di pulau tersebut.
Menurutnya, Suku Abui adalah komunitas marginal etnolinguistik yang mengalami perubahan sosial, ekonomi, dan lingkungan yang saling terkait. Abui adalah bahasa keluarga Timor-Alor-Pantar (TAP).
“Bahasa Abui terancam punah karena pengetahuan ekologi tradisional masyarakat Abui juga tampak semakin berkurang,” terang Blake pada webinar yang diselenggarakan Pusat Riset Preservasi Bahasa dan Sastra (PR PBS) BRIN yang mengusung tema Documentation of Plant – Related language in Alor Island, Senin (04/11).
Blake dalam paparannya mengatakan, penelitian untuk desertasinya ini dilakukan pada 2016-2020 di Pulau Alor NTT Indonesia, dan mendokumentasikannya. Hasil penelitiannya telah dikurasi oleh corpora di arsip bahasa yang terancam punah.
“Corpora tersebut digunakan sebagai data dalam penulisan disertasi sebagai karya deskripsi bahasa. Disertasi ini menjelaskan pengetahuan dasar tumbuhan dan praktik tutur terkait masyarakat Abui di Pulau Alor, Indonesia,” jelasnya.
Blake sebagai peneliti yang banyak mengkhususkan diri dalam bidang bahasa atau linguistik menjelaskan, disertasinya ini meliputi identifikasi, penamaan, dan klasifikasi tumbuhan di masyarakat Abui. Kemudian mengeksplorasi, mengidentifikasi, dan menganalisis nama tumbuhan secara struktural, serta semantik melalui pengkodean nama tumbuhan dalam Bahasa Abui.
“Ada kalanya dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia lalu dapat diterjemahkan kembali dalam bahasa Inggris. Namun banyak juga yang belum ada padanannya dalam bahasa Indonesia, sehingga tidak dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris,” urainya.
Diterangkan Blake, meskipun terdapat upaya dokumentasi linguistik yang penting dari rumpun bahasa ini, pengetahuan etnobotani komunitas penutur TAP masih sedikit dipelajari.
“Terlebih lagi, flora di Pulau Alor belum tersurvei secara menyeluruh. Untuk menguatkan penelitian ini, saya banyak menggunakan video dalam mendokumentasikan berbagai tumbuhan yang disampaikan oleh masyarakat Abui, serta beberapa foto pendukung,” urainya.
Penggunaan video sebagai media dokumentasi ini, menurutnya, akan lebih menguatkan bila akan ada penelitian lebih lanjut oleh peneliti lain. Indonesia merupakan sebuah bangsa besar yang memiliki ratusan bahasa daerah.
“Cukup banyak bahasa daerah yaitu suku-suku yang terancam punah. Kami berharap, hal ini menggugah para peneliti lain untuk meneliti lebih lanjut, termasuk peneliti tumbuhan. Tujuannya, agar kekayaan alam yang ada pada suatu daerah dapat dilestarikan dari kepunahan,” tutupnya.
Sementara itu Herry Jogaswara Kepala Organisasi Riset Arkeologi Bahasa dan Sastra (OR Arbastra) BRIN mengapresiasi pelaksanaan webinar ini, yang memiliki topik unik dan menarik tentang tanaman dan bahasa.
Terkait hal tersebut, Herry menyisipkan informasi tentang rumah program untuk kolaborasi riset yang kembali akan dilakukan pada 2025.
“Kami menawarkan beberapa tema utama yakni budaya berkelanjutan, data raya arkeologi, bahasa dan sastra serta riset dasar arkeologi, serta bahasa dan sastra. Kami juga mengajak para peneliti dari dalam dan luar negeri, termasuk perguruan tinggi, untuk bersama-sama melakukan kolaborasi riset tersebut,” pungkasnya. (TR Network)