YOGYAKARTA – Indonesia melalui Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) kembali dipercaya menjadi tuan rumah Postgraduate Educational Course (PGEC) in Radiation Protection and the Safety of Radiation Sources Tahun 2025 untuk kawasan Asia-Pasifik, pada Juni hingga November 2025.
PGEC merupakan pelatihan komprehensif dan multidisiplin dua tahunan Badan Tenaga Atom Internasional (International Atomic Energy Agency/IAEA) yang dirancang untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan kompetensi bagi para profesional muda, terutama yang berprospek menjadi manajer, pengambil keputusan, ahli, maupun trainer di bidang proteksi radiasi dan keamanan sumber radiasi di fasilitas nuklir atau institusi kenukliran.
Sebelumnya, Indonesia pernah menjadi tuan rumah kegiatan PGEC pertama kalinya pada 2023.
Radiation Safety Training Specialist IAEA, Andrea Luciani dalam Expert Mission menegaskan, PGEC merupakan salah satu program utama IAEA dalam Advanced Postgraduate Diploma Course (APDC) dan telah diselenggarakan di berbagai negara, termasuk Argentina, Maroko, Nigeria, Ghana, Kenya, Yunani, Belarus, Malaysia, dan Yordania.
“Indonesia kini tengah bersiap untuk menjadi penyelenggara kursus kedua bagi negara-negara anggota di kawasan Asia Pasifik,” ujarnya, Senin, 10 Februari 2025 lalu.
Menurut Andrea, evaluasi dilakukan melalui berbagai metode termasuk umpan balik dari peserta, wawancara langsung, serta analisis hasil ujian daring yang diselenggarakan melalui platform pembelajaran IAEA.
“Kami melihat potensi besar dalam pelaksanaan PGEC di Indonesia. Dengan perbaikan fasilitas dan peningkatan kualitas pengajar, program ini dapat menjadi pusat pembelajaran bagi negara-negara di kawasan Asia Pasifik,” tegasnya.
Expert Mission IAEA ini diagendakan dari 10 hingga 14 Februari 2025. Hari pertama hingga keempat misi mencakup serangkaian kunjungan ke fasilitas laboratorium yang akan digunakan selama pelatihan di BRIN, maupun pelaksanaan kunjungan ke fasilitas laboratorium di luar BRIN untuk meninjau pelaksanaan sistem proteksi radiasi, seperti di RSUP Dr. Sardjito di Yogyakarta, serta Badan Pengamanan Fasilitas Kesehatan (BPAFK) Surakarta.
Kunjungan ini bertujuan untuk menilai kesiapan peralatan, kepatuhan terhadap regulasi nasional, serta mendiskusikan aspek teknis dengan tenaga pengajar yang akan mendukung pelaksanaan PGEC.
Dalam kunjungan ini, tim IAEA mengevaluasi kesiapan fasilitas dari berbagai aspek, termasuk ketersediaan, kondisi, dan kalibrasi peralatan laboratorium.
“Dalam edisi pertama PGEC, terdapat kendala dalam pemanfaatan beberapa instrumen karena belum sepenuhnya dikalibrasi atau masih dalam tahap instalasi. Oleh karena itu, misi kali ini memberi perhatian lebih pada kesiapan operasional peralatan,” papar Andrea.
Selain itu, aspek keselamatan radiasi juga menjadi sorotan utama. Andrea menjelaskan bahwa laboratorium yang digunakan harus memenuhi standar perlindungan radiasi yang ketat, termasuk keberadaan rambu peringatan, prosedur keselamatan yang jelas, serta pengawasan oleh petugas perlindungan radiasi (Radiation Protection Officer).
“Salah satu nilai tambah dari kursus ini adalah peserta tidak hanya belajar melakukan eksperimen, tetapi juga memahami bagaimana laboratorium harus diatur sesuai dengan persyaratan perlindungan radiasi,” tambahnya.
Sejak dimulainya program PGEC pertama di Indonesia tahun 2023, telah dilakukan evaluasi terhadap penyelenggaraan program tersebut. Pelaksana Tugas Direktur Pengembangan Kompetensi BRIN Rahma Lina menekankan, BRIN menindaklanjuti hasil evaluasi pelaksanaan PGEC pertama dengan serius, melalui berbagai usaha perbaikan dari sisi infrastruktur, sumber daya manusia, pengorganisasian kegiatan, serta program.
“Penyelenggaraan tahun ini juga difokuskan di satu lokasi, yaitu BRIN Kawasan Sains, Teknologi dan Edukasi Achmad Baiquni, Yogyakarta, yang saat ini difokuskan pada integrasi Politeknik Teknologi Nuklir Indonesia (Poltek Nuklir) dengan fasilitas nuklir dan radiasi untuk pendidikan, penelitian dasar, pelatihan dan sertifikasi. Kawasan ini ke depan diharapkan menjadi hub untuk peningkatan kapasitas bidang kenukliran di Kawasan Asia Pasifik,” jelas Lina.
Dalam misi ini, tim IAEA bersama BRIN membahas hasil evaluasi tersebut serta langkah-langkah peningkatan yang telah dan akan diterapkan pada penyelenggaraan tahun 2025 ini. Beberapa aspek utama yang menjadi perhatian mencakup kesiapan tenaga pengajar, fasilitas laboratorium, serta pemenuhan standar internasional dalam penyelenggaraan PGEC, khususnya pembelajaran dengan pendekatan pedagogis yang lebih adaptif.
Persiapan PGEC 2025
Dalam penyelenggaraan PGEC kedua di Indonesia ini, BRIN telah melakukan berbagai persiapan, termasuk peningkatan kualitas tenaga pengajar.
“Seleksi pengajar kini mempertimbangkan tiga aspek utama, yaitu kompetensi teknis terkait bidang yang akan mereka ampu, keterampilan mengajar bagi peserta dewasa (adult learning pedagogy), serta kemampuan dalam Bahasa Inggris,” jelas Lina.
Selain itu, BRIN juga berencana menggandeng akademisi dari Universitas Gadjah Mada serta pakar dari rumah sakit untuk mendukung sesi teknis dalam pelatihan mendatang.
Dari segi infrastruktur, sebagian besar laboratorium yang akan digunakan berada dalam kondisi baik, meskipun beberapa masih dalam tahap peningkatan.
Andrea menekankan pentingnya memastikan bahwa semua instrumen berfungsi dengan optimal sebelum kursus dimulai. Beberapa latihan praktis yang direncanakan mencakup penggunaan detektor Geiger-Müller, spektrometri gamma, serta latihan kalibrasi peralatan radiasi.
Dengan adanya evaluasi penyelenggaraan PGEC sebelumnya, diharapkan Indonesia terus meningkatkan kapasitasnya sebagai penyelenggara dan dapat menjadi tuan rumah tetap pelaksanaan PGEC di kawasan Asia Pasifik.
“Kolaborasi antara BRIN, IAEA, serta institusi terkait diharapkan terus berlanjut untuk mendukung keberlanjutan PGEC di Indonesia dalam pengembangan sumber daya manusia di bidang keselamatan radiasi dan teknologi nuklir,” pungkas Lina. (TR Network)