LONDON – Penambangan dasar laut ternyata memiliki dampak jangka panjang yang belum pulih bahkan setelah lebih dari empat dekade. Hal ini terungkap dari penelitian terbaru yang menyoroti pentingnya moratorium penambangan laut dalam.
Tim ilmuwan dari Pusat Oseanografi Nasional (NOC) Inggris melakukan ekspedisi ke Zona Clarion Clipperton di Samudra Pasifik pada tahun 2023. Mereka menemukan bahwa bekas uji coba penambangan dasar laut tahun 1979 masih meninggalkan kerusakan signifikan pada ekosistem.
Dalam penelitian yang dipublikasikan di jurnal ilmiah Nature, penambangan dilakukan dengan mengumpulkan nodul-nodul polimetalik sepanjang delapan meter di dasar laut. Hasilnya, struktur sedimen berubah secara permanen dan jumlah organisme besar berkurang drastis. Meski begitu, sebagian spesies kecil yang bergerak aktif mulai kembali muncul di wilayah tersebut.
Ilmuwan Serukan Peringatan
“Penelitian ini memberikan bukti kuat mengenai potensi kerusakan jangka panjang akibat penambangan laut dalam. Meski ada tanda-tanda awal rekolonialisasi di beberapa area, banyak zona yang tidak menunjukkan pemulihan sama sekali,” jelas Daniel Jones, kepala ekspedisi dari NOC.
Sebagai respons atas temuan ini, sebanyak 36 negara mengirim delegasi dalam pertemuan Otoritas Dasar Laut Internasional PBB di Kingston, Jamaika. Agenda utama adalah membahas apakah aktivitas ekstraksi logam seperti tembaga dan kobalt di dasar laut harus dilanjutkan.
Diskusi juga mencakup ratusan usulan amandemen terhadap kode etik penambangan laut dalam yang terdiri dari 256 halaman. Banyak kelompok lingkungan menyerukan penghentian total aktivitas ini — sebuah tuntutan yang kini didukung oleh 32 negara serta 63 perusahaan dan lembaga keuangan internasional.
“Bukti ilmiah terbaru ini menegaskan bahwa penambangan dasar laut harus dihentikan sebelum dimulai. Pemerintah dunia harus bertindak cepat untuk mencegah kerusakan permanen terhadap ekosistem laut dalam,” tegas Louise Casson, juru kampanye dari Greenpeace. (TR Network)