JAKARTA – Pentingnya isu ketersediaan air menjadi prioritas utama pemerintah pada masa pemerintahan 2025-2029. Pasalnya, air memiliki peran yang sangat vital, tidak hanya untuk kebutuhan sehari-hari, tetapi juga sebagai faktor kunci dalam mendukung pembangunan sektor ekonomi.
Masalah pelayanan air bersih masih menjadi tantangan besar, berdasarkan data Buku Kinerja BUMD Air Minum 2023, akses terhadap air bersih di beberapa provinsi masih sangat terbatas. Sebagian besar daerah mencatatkan persentase penduduk yang terlayani di bawah 50%, dan Provinsi Maluku Utara tercatat sebagai yang terbesar, yakni 57%.
“Untuk mengatasi masalah ini, salah satu alternatif yang dipertimbangkan adalah pemanfaatan sumber air yang terdapat di kawasan Karst,” ungkap Yopi, Deputi Riset dan Inovasi Daerah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) di forum webinar bertajuk “Pemanfaatan Teknologi untuk Mengatasi Ketersediaan Air Bersih di Daerah KARST”, pada Rabu, 13 November 2024.
Menurutnya, kawasan Karst memiliki formasi geologi khusus berupa batuan kapur yang menyimpan air di bawah permukaan tanah, diperkirakan memiliki ketersediaan air yang melimpah dan kualitas yang baik.
“Di Indonesia, kawasan Karst mencakup sekitar 55.000 km², dengan wilayah Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), sebagai kawasan terbesar yang memiliki luas hingga 28.000 km²,” jelasnya.
BRIN menekankan pentingnya pengenalan teknologi dalam pemanfaatan air bawah tanah Karst. Melalui teknologi ini, diharapkan kualitas dan kuantitas pasokan air bersih dapat ditingkatkan, terutama di wilayah yang mengalami kekurangan pasokan air bersih.
“Kami berharap melalui acara ini, kita dapat berbagi pengetahuan dan pengalaman, serta menemukan solusi bersama untuk mengelola potensi air bersih di wilayah masing-masing,” kata Yopi.
Dalam kesempatan yang sama, Ignasius Dwi Atmana Sutapa Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Limnologi dan Sumber Daya Air Bersih BRIN menjelaskan, air bersih adalah hak dasar setiap warga negara yang harus dipenuhi oleh negara. Hal ini sejalan dengan prinsip “No One Left Behind” dalam tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang menyerukan akses universal terhadap air bersih dan sanitasi.
“Indonesia memiliki potensi sumber daya air yang melimpah, akses masyarakat terhadap air bersih, baik dari segi kuantitas, kualitas, maupun kontinuitas, masih sangat terbatas. Lebih dari 70% masyarakat Indonesia masih mengandalkan air yang diperoleh secara mandiri, seperti sumur gali, sumur bor, atau bahkan air hujan. Sementara itu hanya sekitar 20-30% yang dapat mengakses air melalui jalur pipa seperti PDAM atau PAMSIMAS,” terangnya.
Wilayah Karst, lanjutnya, tersebar di berbagai daerah di Indonesia, menghadirkan tantangan tersendiri dalam penyediaan air bersih. Kawasan yang terbentuk dari batuan kapur ini memiliki formasi geologi yang unik, di mana air permukaan sering kali sulit ditemukan karena sebagian besar air meresap ke dalam tanah.
“Wilayah Karst tampak kering di permukaannya, padahal kawasan ini sebenarnya menyimpan cadangan air tanah yang cukup besar. Hal ini sebagai tantangan utama di wilayah Karst agar kita dapat mengakses dan memanfaatkan cadangan air tanah tersebut secara optimal,” ungkapnya.
Dalam menghadapi tantangan tersebut, ungkapnya, teknologi memainkan peranan penting. Berbagai inovasi, mulai dari metode sederhana seperti slow sand filter hingga teknologi canggih seperti membran dan smart drinking water treatment kini telah dikembangkan untuk mengolah air baku menjadi air bersih yang aman untuk dikonsumsi.
“Kualitas air di berbagai wilayah Karst seperti di Gunung Kidul, sering kali terkontaminasi dengan kandungan kapur tinggi. Maka teknologi modern memungkinkan pengolahan air yang lebih efisien dan efektif,” tambahnya.
Selain itu, Prof. Ignasius membeberkan, teknologi terbaru yang memanfaatkan energi terbarukan, seperti panel surya dan turbin mikro-hidro, kini tengah diuji untuk mengatasi tantangan energi dalam proses pengolahan air.
“Dengan memanfaatkan sumber daya alam lokal, seperti arus sungai bawah tanah, teknologi ini diharapkan dapat mendukung keberlanjutan penyediaan air bersih, khususnya di wilayah-wilayah terpencil dan sulit dijangkau,” jelasnya.
Ignasius menekankan, masalah utama dalam penyediaan air bersih bukan hanya pada aspek teknologinya, tetapi juga pada kebijakan dan keberpihakan pemerintah. Dalam konteks ini, pemerintah perlu lebih memperhatikan kebutuhan daerah-daerah marginal seperti kawasan Karst, gambut, dan pesisir yang sering kali kekurangan perhatian dalam pembangunan infrastruktur air bersih.
“Keberpihakan pemerintah sangat penting, air adalah hak dasar yang harus dipenuhi, dan pemerintah harus memprioritaskan penyediaan air bersih bagi seluruh rakyat Indonesia. Terutama di daerah-daerah yang sulit dijangkau,” ujarnya.
Ignasius mengingatkan, kerja sama antara pemerintah, peneliti, sektor swasta, dan masyarakat sangat penting untuk mengatasi krisis air bersih ini. Teknologi yang terus berkembang harus disesuaikan dengan kondisi lokal, termasuk kualitas air baku, volume, dan kontinuitasnya. Selain itu, riset dan pengembangannya juga perlu difokuskan pada pemanfaatan sumber daya air yang ada dengan biaya yang efisien dan ramah lingkungan.
Di akhir pembahasan, Ignasius menegaskan bahwa pemenuhan hak dasar akan air bersih di Indonesia, khususnya di wilayah Karst, memerlukan pendekatan yang holistik dan kolaboratif.
“Teknologi pengolahan air yang tepat, dukungan kebijakan yang berpihak, serta komitmen pemerintah menjadi kunci untuk memastikan seluruh masyarakat dapat mengakses air bersih yang layak. Sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam, Indonesia harus memastikan air bersih menjadi hak yang dapat dinikmati oleh semua warganya,” pungkasnya.
Sebagai informasi, dalam webinar yang dihadiri oleh berbagai mitra kerja dari pemerintah daerah ini, bertujuan untuk memperkenalkan dan mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya air sungai bawah tanah Karst. (TR Network)