JAKARTA – Sebelum kedatangan misionaris asing pada 1950-an dan 1960-an, masyarakat Papua Pegunungan telah memiliki rekam jejak spiritual yang kaya dan kompleks. Di Lembah Baliem, Papua, mereka telah mengenal konsep ketuhanan melalui sosok-sosok Ilahi seperti Elalin—Tuhan yang ajaib, serta Heksek—Tuhan yang mengasihi semua orang tanpa memandang baik atau jahat.
Fakta menarik ini terungkap melalui riset kolaborasi antara Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan American Indonesian Exchange Foundation (AMINEF), bertajuk “History of Religious Beliefs in Baliem Valley, Jayawijaya, Papua Highlands”. Penelitian ini dipimpin oleh Rebecca Young (Fulbright Scholar AMINEF) bersama Yumasdaleni, Peneliti Pusat Riset Agama dan Kepercayaan (PRAK) BRIN, yang sejak September 2024 meneliti jejak spiritual masyarakat Papua Pegunungan.
Rebecca Young menegaskan pentingnya penelitian ini untuk menggali spiritualitas, kepercayaan, dan nilai-nilai etika masyarakat Jayawijaya sebelum pengaruh luar masuk.
“Selama ini banyak penelitian yang meremehkan keberadaan sistem religi kompleks masyarakat Papua. Padahal mereka sudah memiliki pemahaman mendalam tentang konsep pencipta, roh-roh, kekuatan supernatural, dan asal-usul semesta,” jelas Rebecca dalam seminar hasil riset di Kawasan Sains Sarwono Prawirohardjo BRIN, Jakarta (24/4).
Penelitian ini juga mendokumentasikan kesaksian penduduk terkait kedatangan misionaris asing.
“Ingatan kolektif mereka harus dilestarikan sebelum benar-benar hilang. Ini sangat penting sebagai catatan sejarah spiritualitas Papua,” ujarnya.
Temuan Penting: Sistem Etika dan Sosok Sakral
Dalam penelitiannya, Rebecca menemukan bahwa masyarakat Papua memiliki kesadaran yang kuat akan konsep benar-salah, baik-jahat, serta adanya pembalasan bagi pelanggaran moral. Mereka mengenal tokoh-tokoh dengan otoritas spiritual tinggi yang menyimpan pengetahuan sakral secara rahasia. Nama-nama sosok sakral tersebut tidak boleh disebut sembarangan dan harus dihormati.
“Ini bukti bahwa mereka memiliki konsep ketuhanan yang dalam, dengan etika spiritual yang terjaga,” tambah Rebecca.
Namun tantangan muncul karena banyak informan dari kalangan gereja Protestan tidak lagi mengetahui budaya asli akibat pemusnahan benda budaya dan terputusnya tradisi lisan. Sebagai solusinya, Rebecca mewawancarai informan beragama Katolik dan Muslim yang budaya leluhurnya masih terjaga.
Rebecca berencana melanjutkan risetnya dengan fokus pada peran perempuan Papua Pegunungan, pola hidup mereka, serta harapan masa depan. Ia juga mendorong pendidikan bagi anak-anak Papua agar bisa menjadi peneliti informal yang melacak dan mencatat kisah leluhur mereka.
Cahyo Pamungkas, Peneliti Pusat Riset Kewilayahan BRIN, menambahkan bahwa spiritualitas masyarakat Papua tidak hanya hidup di pegunungan tetapi juga di wilayah pesisir. Ia menyebutkan teologi-teologi lokal seperti Ugatamee, Hai, dan Koreri yang membentuk orientasi budaya Papua.
“Masuknya agama Kristen dan Islam memunculkan interaksi kompleks dengan nilai-nilai tradisional Papua, membentuk lanskap budaya yang dinamis,” jelas Cahyo.
Menurutnya, penting untuk menyeimbangkan pelestarian warisan budaya dengan penerimaan perubahan zaman.
Penelitian ini menjadi pintu masuk yang penting dalam memahami sejarah agama Papua dari perspektif orang asli sendiri. Dengan pendekatan inklusif dan kolaboratif, warisan spiritual dan budaya masyarakat Lembah Baliem dapat terus lestari dan dipahami generasi mendatang. (MS Network)