JAKARTA — Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengungkapkan alasan belum menetapkan monyet ekor panjang sebagai satwa dilindungi, karena satwa primata tersebut saat ini belum terancam punah.
“Dari berbagai referensi dan beberapa hasil survei di beberapa lokasi belum menunjukkan data atau kriteria bahwa spesies monyet ekor panjang harus dilindungi,” kata Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK, Satyawan Pudyatmoko saat dihubungi di Jakarta, Selasa.
Satyawan menjelaskan monyet ekor panjang merupakan jenis satwa yang tersebar di Pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT).
Mereka dapat hidup pada berbagai tipe habitat, seperti hutan sekunder, area tepi hutan, area tepi sungai, lahan perkebunan dan pertanian, serta dapat hidup di hutan bakau di pesisir pantai.
Primata itu membentuk koloni dengan beberapa jantan dan betina yang dipimpin satu pejantan alfa. Jumlah betina umumnya lebih banyak daripada jantan. Saat ini monyet ekor panjang menjadi salah satu jenis yang diperdagangkan secara internasional.
“Monyet ekor panjang bukan termasuk satwa yang dilindungi di Indonesia, akan tetapi masuk dalam Appendix II CITES (Convention on International Trades in Endangered Species of Wild Fauna and Flora),” kata Satyawan.
Status Appendix II memiliki pengertian bahwa monyet ekor panjang saat ini belum terancam kepunahan, tetapi mungkin terancam punah apabila perdagangan terus berlanjut tanpa adanya regulasi pemanfaatan yang berkelanjutan.
Pengendalian pemanfaatan spesies itu dari alam diatur dalam mekanisme penetapan kuota, sedangkan penggunaan di fasilitas penangkaran adalah dikendalikan dengan menetapkan kapasitas produksi maksimum.
Populasi kera ekor panjang di alam liar relatif stabil, karena mereka hidup dalam kelompok multi-jantan atau multi-betina dan bersifat adaptif serta mampu berproduksi sepanjang tahun.
Sejak tahun 2008, monyet ekor panjang telah menyandang status ‘Least Concern’ menurut Daftar Merah IUCN Spesies yang Terancam Punah. Statusnya meningkat menjadi ‘Rentan’ pada tahun 2020, dan saat ini terdaftar sebagai ‘Terancam Punah’ pada tahun 2022.
Di beberapa daerah, terutama Pulau Jawa dan Sumatra, monyet ekor panjang dilaporkan mengganggu manusia, lahan pertanian dan peternakan, serta pemukiman.
Berdasarkan proses penilaian skor Non Detriment Finding (NDF) pada kera ekor panjang termasuk dalam kategori kriteria ‘positif’. Artinya, populasi kera ekor panjang di Indonesia dapat dimanfaatkan melalui mekanisme kuota.
Walaupun masuk dalam kategori positif, masuk dalam kategori netral yang menunjukkan perlunya pemantauan tahunan mengamati tren populasi kera ekor panjang di Indonesia.
Secara khusus, populasi kera ekor panjang harus secara berkala dipantau setelah pemanfaatan atau panen untuk menilai dampaknya terhadap keberlanjutan populasi.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999, syarat spesies harus dilindungi adalah ketika terjadi penurunan signifikan populasi di alam, ukuran populasi kecil, dan sebaran populasi terbatas.
Sebelumnya, sejumlah aktivis satwa melakukan beberapa aksi teatrikal yang menuntut pemerintah agar monyet ekor panjang dan beruk segera menjadi satwa dilindungi.
Aksi teatrikal itu digelar di beberapa tempat menjelang Hari Primata Indonesia 2024, salah satunya saat hari bebas kendaraan bermotor di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Minggu (28/1/2024).
Aktivis pemerhati satwa meminta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar untuk menetapkan monyet ekor panjang dan beruk sebagai satwa dilindungi lantaran kedua satwa tersebut kerap dieksploitasi, salah satunya aksi topeng monyet.
Sebelumnya Satyawan Pudyatmoko mengatakan bahwa beberapa daerah sudah memiliki aturan pelarangan kegiatan pertunjukan komersial topeng monyet. “Untuk topeng monyet sebenarnya sudah dilarang di beberapa daerah,” pungkasnya.(*)