JAKARTA – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bekerja sama dengan Yayasan WWF Indonesia menggelar Pelatihan Identifikasi Kriteria Habitat Kritis Spesies ETP (Endangered, Threatened, and Protected atau terancam punah dan dilindungi). Pelatihan ini untuk memperkuat pembentukan dan efektivitas kawasan konservasi berbasis spesies dan juga penyelamatan spesies Hiu dan Pari.
Kegiatan ini menjadi salah satu upaya pengembangan dan efektivitas pengelolaan 20 spesies prioritas dan target perluasan kawasan konservasi di perairan yang merupakan target dari KPP yaitu MPA vision 30×45 atau perluasan kawasan konservasi perairan hingga 30 persen pada 2045.
Kelestarian spesies laut terancam punah dan dilindungi tidak luput dari kondisi habitat yang mumpuni. Sejak 2021, KKP dan WWF-Indonesia mulai menginisiasi MPA for Sharks (kawasan konservasi di perairan yang menjadi fokus perlindungan hiu). Kemudian mengembangkannya menjadi MPA for species-based agar dapat mencakup perlindungan habitat untuk spesies laut ETP lainnya.
“Jika berbicara tentang hiu dan pari, meskipun perlindungan spasial dapat memberikan manfaat konservasi bagi beberapa spesies, namun beberapa pihak mempertanyakan seberapa luas perlindungan spasial dapat digunakan secara efektif,” kata Profesor Colin Simpfendorfer dari Universitas James Cook, Australia, dalam siaran pers WWF-Indonesia, Kamis, 21 November 2024.
Trainer dan penulis buku “Guidance on Defining and Identifying Critical Habitats For Recovering Shark And Ray Species” itu menambahkan pertanyaan tentang efektivas perlindungan spasial dikarenakan banyaknya spesies hiu dan pari yang dapat berpindah dalam jarak yang cukup jauh. Sehingga mereka dapat terus bergerak jauh melampaui batas kawasan lindung.
“Dengan demikian menambah ketidakpastian yang cukup besar terhadap peluang keberhasilan konservasi secara keseluruhan,” tambahnya.
Simpfendorfer menjelaskan pendekatan yang dapat menghasilkan hasil konservasi yang positif bagi hiu dan pari adalah konsep habitat kritis , yaitu area yang memiliki peran penting dalam memastikan kelangsungan hidup spesies target.
“Dengan mengidentifikasi dan memfokuskan pengelolaan pada habitat kritis ini, upaya konservasi kemungkinan besar akan berhasil,” katanya.
Melalui pelatihan ini, otoritas pengelola, serta unit teknis di lokasi kawasan konservasi di perairan mendapatkan peningkatan kapasitas seputar pemantauan spesies, mengidentifikasi area penting yang menjadi habitat kritis bagi spesies terancam punah, dengan harapan kedepannya pedoman pada dokumen nasional dapat segera diadopsi untuk proses pemantauan dan pengelolaan kawasan.
Direktur Konservasi dan Ekosistem Biota Perairan (KEBP) Direktorat Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut (Ditjen PKRL), Firdaus Agung menjelaskan KKP melakukan pengelolaan seluas 5,7 juta hektare untuk habitat hiu dan pari, dan 5,5 juta hektare untuk habitat penyu. Ia menambahkan selanjutnya perlu dipastikan efektivitas pengelolaannya agar memberikan manfaat baik secara ekologi maupun sosial ekonomi.
“KKP berkomitmen untuk memperluas kawasan konservasi laut hingga 30 persen pada 2045, oleh karena itu, pelatihan identifikasi kriteria habitat kritis penting dilakukan dalam rangka memberikan kriteria yang lebih jelas dalam pembentukan dan efektivitas pengelolaan kawasan konservasi yang menjadikan spesies dilindungi dan terancam punah sebagai target konservasi,” kata Firdaus.
Direktur Program Kelautan dan Perikanan Yayasan WWF Indonesia Imam Musthofa Zainudin mengatakan WWF-Indonesia mendukung kerja Pemerintah Indonesia untuk melindungi alam Indonesia, salah satunya kerjasama untuk mendukung target-target KKP.
Ia menambahkan saat ini WWF-Indonesia berhasil mendukung pembentukan kawasan konservasi perairan, dengan luasan 5.4 juta hektare atau 18,3 persen dari total target luasan kawasan konservasi perairan di Indonesia yaitu 28.9 juta hektare.
“Kawasan konservasi ini juga menjadi habitat seperti hiu, pari, penyu, dugong, dan mamalia laut yang secara otomatis ikut terlindungi,” katanya.
WWF-Indonesia bergerak berdasarkan ilmu pengetahuan seperti mengembangkan dan memprakarsai inisiatif pemulihan hiu dan pari secara global maupun regional yang dikenal dengan SARRI (Shark and Ray Recovery Initiative) sebagai respon yang ditargetkan terhadap krisis kepunahan hiu/pari dan ini merupakan solusi untuk menyelamatkan mereka.
Selain itu, bersama dengan mitra konsorsium RARE, Coral Triangle Center, Yayasan Pesisir Lestari, REKAM Nusantara, dan Konservasi Indonesia, serta BRIN, WWF-Indonesia juga mendukung upaya pemerintah dalam penyediaan dokumen MPA for species-based yang juga menjadikannya referensi yang dapat relevan sebagai upaya perluasan kawasan konservasi berbasis spesies, contohnyai ISRA (Important of Shark and Ray Area) dan IMMA (Important Marine Mammals Area).
WWF-Indonesia berharap dukungan ini dapat mendorong KKP dapat secara cepat untuk mencapai targetnya yaitu MP vision 30×45 dan menjadikan kawasan konservasi perairan ini menjadi habitat yang sehat untuk hiu dan pari kedepan. (TR Network)