JAKARTA – Pemerintah mengambil langkah tegas dengan melakukan penyegelan aktivitas pengerukan pasir laut ilegal di Pulau Pari Kepulauan Seribu Jakarta.
Selama 3 tahun terakhir, masyarakat secara swadaya menanam puluhan ribu pohon mangrove termasuk 40.000 pohon di dekat Pulau Biawak yang berhasil tumbuh subur. Namun, aktivitas pengerukan pasir untuk pembangunan di wilayah tersebut menghancurkan 40.000 pohon yang sudah ditanam di lahan seluas 1,37 hektare. Tidak hanya mangrove, pengerukan di laut dangkal juga menghancurkan terumbu karang dan padang lamun seluas 62 meter persegi.
Berdasarkan data dari Suku Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekraf) Kepulauan Seribu, Pulau Pari menjadi pulau primadona yang dikunjungi wisatawan sepanjang tahun 2024.
Adapun sepanjang 2024, jumlah kunjungan wisatawan baik mancanegara dan domestik ke Pulau Pari mencapai 103.382 kunjungan dan menjadi pulau tersibuk di kecamatan Kepulauan Seribu.
Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurrofiq mengatakan pengerukan pasir laut di Pulau Pari dilakukan tanpa izin sehingga menjadi tindakan ilegal yang berpotensi merusak ekosistem laut dan menimbulkan dampak sosial dan ekonomi.
“Kami akan bertindak tegas untuk memastikan pembangunan dilakukan sesuai aturan yang berlaku,” ujarnya dalam keterangan resmi dikutip Minggu, 26 Januari 2025.
Berdasarkan pengumpulan data dan informasi (puldasi) Bidang Penegakan Hukum Lingkungan Hidup pada 21 Januari hingga 23 Januari 2025, aktivitas pengerukan tersebut diduga dilakukan untuk reklamasi resor wisata tanpa dilengkapi perizinan berusaha, persetujuan lingkungan, dokumen lingkungan, maupun persetujuan teknis pengelolaan lingkungan hidup.
Deputi Bidang Penegakan Hukum Lingkungan Hidup Rizal Irawan menuturkan pembangunan tanpa perizinan merupakan perbuatan ilegal dan sangat berpotensi terjadi kerusakan lingkungan karena tidak adanya pedoman yang menjadi acuan seperti dokumen lingkungan.
“Tidak adanya dokumen lingkungan sebagai pedoman meningkatkan risiko kerusakan terhadap ekosistem, termasuk terumbu karang, padang lamun, dan mangrove,” katanya.
Oleh karena itu, Kementerian Lingkungan Hidup melakukan penyegelan dan penghentian sementara aktivitas pembangunan di Pulau Pari beserta gugusan pulau lainnya. Penghentian sementara itu berkoordinasi dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, sebagai pihak yang memiliki kewenangan penerbitan izin dan pengawasan.
Penghentian sementara bertujuan untuk mencegah potensi kerusakan lingkungan yang lebih besar. Selain itu, juga dilakukan pemeriksaan lebih lanjut oleh Tim Pengawas Lingkungan Hidup dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil terhadap penanggung jawab usaha atau kegiatan yang melakukan pengerukan pasir laut tanpa izin.
Tim akan bekerja sama dengan Pemerintah Jakarta untuk memastikan penyelesaian masalah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
“Kami berkomitmen untuk melindungi lingkungan hidup dari aktivitas yang merusak, serta memastikan bahwa setiap pembangunan dilakukan sesuai peraturan yang berlaku,” ucapnya.
Adapun merujuk Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pada dasarnya kewenangan penerbitan izin dan pengawasan adalah kewenangan Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Jakarta.
Kemudian, dalam Pasal 73 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Kementerian Lingkungan Hidup memiliki kewenangan melakukan pengawasan dan penindakan atas pelanggaran serius di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Pihaknya juga akan menggandeng sejumlah ahli untuk meneliti dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan termasuk terkait kerugian yang ditimbulkan.
Menurutnya, kerugian yang dihitung tidak hanya dalam sektor lingkungan, tapi juga kerugian ekonomi dan kerugian sosial setelah ditemukan fakta pengerukan laut seluas 62 meter persegi dengan kedalaman 3 meter itu telah merusak padang lamun dan terumbu karang.
“Mudah-mudahan ke depan kita sudah bisa menghitung. Tapi untuk batas waktu, tim ahli yang akan menjawab, karena kita tidak sembarangan,” tutur Rizal.
Deputi Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup Rasio Ridho Sani menambahkan pihaknya tengah mendalami dampak lingkungan dari rusaknya mangrove dan terumbu karang karena kegiatan pembangunan di wilayah tersebut.
“Ya, tentu kami akan koordinasi dengan kementerian lainnya. Ini tidak hanya dengan kementerian/lembaga terkait, tapi juga koordinasi dengan pemerintah daerah dalam hal ini Provinsi Daerah Khusus Jakarta terkait kegiatan reklamasi di Pulau Pari,” ujarnya.
Sementara itu, Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Doni Ismanto Darwin menuturkan terdapat indikasi alih fungsi lahan ekosistem mangrove dari pembangunan pondok wisata di Pulau Pari.
Berdasarkan temuan Tim Direktorat Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut Kemeterian Kelautan dan Perikanan, terdapat kegiatan pembangunan pondok wisata dengan metode reklamasi yang belum memiliki kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut yang dilakukan oleh PT CPS. Perusahaan tersebut membangun pondok wisata dengan metode reklamasi.
“Pembangunan pondok wisata dimaksud tersebut terindikasi melakukan alih fungsi ekosistem mangrove. Area di sekitar kegiatan pengerukan dengan beckhoe berupa ekosistem mangrove dan padang lamun kategori baik. Kami menemukan ada kegiatan pengerukan menggunakan alat berat di dalam area kegiataan pemanfaatan ruang laut,” katanya.
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menambahkan PT CPS terindikasi melakukan reklamasi tanpa izin di kawasan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) di Pulau Pari.
PKKPRL yang diterbitkan untuk perusahaan tersebut seharusnya untuk kegiatan cottage apung dan dermaga wisata, namun diduga melakukan reklamasi. Kegiatan pembangunan pondok wisata dengan metode reklamasi yang belum memiliki KKPRL dilakukan oleh subjek hukum yang sama yaitu PT CPS di mana terindikasi melakukan alih fungsi ekosistem mangrove.
“Pemanfaatan pulau untuk pariwisata, yaitu PT CPS di Pulau Pari. Statusnya, PKKPRL PT CPS yang diterbitkan pada tanggal 12 Juli 2024 untuk kegiatan cottage apung dan dermaga wisata, luasnya 180 hektare, terindikasi pelanggaran dengan melakukan kegiatan reklamasi tanpa izin,” ucapnya.
Kegiatan itu diduga melanggar Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023, tentang Penetapan PP Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Dalam beleid tersebut, seluruh kegiatan pemanfaatan ruang di laut yang dilakukan secara menetap lebih dari 30 hari harus memiliki izin pemanfaatan ruang laut berupa PKKPRL dari Menteri Kelautan dan Perikanan.
Trenggono menuturkan pihaknya akan menjatuhkan sanksi kepada PT CPS atas indikasi pelanggaran yang telah dilakukan. Selain itu, pihaknya akan melakukan sosialisasi KKPRL sebagai perizinan dasar dalam pemanfaatan ruang laut.
“KKP bersama dengan Pemda dan masyarakat akan senantiasa melakukan pengawasan terkait pemanfaatan ruang laut, khususnya apabila terdapat indikasi pelanggaran,” tuturnya. (TR Network)