JAKARTA – Pusat Riset Kewilayahan (PRW) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengadakan diskusi dalam rangkaian program More-than-Human Lab (Met Human) pada Selasa (5/11) lalu.
Diskusi yang bertemakan “Ekstremitas Sehari-hari: Hidup dengan Pergolakan Geologis dari Pemikiran Teori Barat” ini mengundang Profesor Nigel Clack dari Universitas Lancaster, Britania Raya, sebagai pembicara utama.
Dalam paparannya, Nigel Clack mengawali dengan menyampaikan bahwa dalam beberapa dekade terakhir, ilmuwan semakin memandang Bumi sebagai sistem yang dinamis dengan berbagai kondisi yang tidak selalu bisa diprediksi. Pandangan ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai cara berpindah antara dunia yang kita kenal dan dunia yang penuh ketidakpastian.
“Saat kita berbicara tentang geologi dan bencana alam, kita bertanya-tanya, bagaimana kita dapat melintasi ambang batas antara dunia yang kita pahami dan dunia yang tidak kita ketahui?” ungkap Nigel.
Sebagai bagian dari penjelasannya, Nigel mengangkat contoh-contoh peristiwa geologis besar yang terjadi sepanjang sejarah, seperti gempa bumi Napier pada tahun 1931 di Selandia Baru, Tsunami Samudra Hindia pada tahun 2024, serta gempa bumi dan tsunami Lisbon pada tahun 1755, yang dikenal sebagai bencana paling besar di Eropa sejak jatuhnya Kekaisaran Romawi.
Menurut Nigel, peristiwa-peristiwa tersebut menunjukkan bahwa ketakutan dan kecemasan terhadap kekuatan bumi seringkali disertai dengan perasaan sombong atau kepercayaan diri yang berlebihan.
“Revolusi bumi mengingatkan kita tentang banyaknya makhluk organik purba yang tidak lagi ada di permukaan bumi. Ini adalah gambaran dari ketidakpastian yang harus kita hadapi,” ujarnya.
Lebih jauh, Nigel mengkritisi pandangan mengenai kemanusiaan liberal pada abad ke-18 yang menganggap bahwa keamanan dan stabilitas bisa dicapai dengan mengalihdayakan risiko dan ketidakpastian.
Ia juga menyoroti hubungan erat antara geologi dan kolonialisme, di mana ilmu geologi digunakan sebagai alat kekuasaan oleh kekaisaran Eropa untuk mengeksploitasi alam dan menghadapi revolusi bumi.
Dalam pembahasannya, Nigel memperkenalkan konsep *Anthropocene* – sebuah era geologis yang dimulai ketika aktivitas manusia mulai memberikan dampak besar terhadap ekosistem bumi.
Ia mengungkapkan bahwa pandangan tentang *Anthropocene* seringkali dipahami secara keliru, yakni sebagai bukti bahwa manusia dan alam terpisahkan, padahal sesungguhnya manusia adalah bagian integral dari alam itu sendiri.
Nigel juga menggambarkan bagaimana peradaban Barat, dengan mesin kolonial dan industri pertambangan, telah membelah batu Banaba menjadi 20 juta ton partikel kecil yang tersebar ke seluruh penjuru dunia.
“Mineral-mineral yang mengandung semangat leluhur orang lain telah menyusup ke dalam sirkuit ekonomi, tanah, lapisan, bahkan darah kita,” kata Nigel, menegaskan dampak besar yang dihasilkan oleh aktivitas manusia terhadap bumi.
Sebagai penutup, Fadjar Ibnu Thufail, Kepala PRW BRIN, menyimpulkan bahwa kajian ini bertujuan untuk memperdalam pemahaman tentang bagaimana manusia menghadapi perubahan lingkungan dan dinamika bumi.
Ia menegaskan, meskipun teori-teori ilmiah Barat menawarkan cara untuk menguasai hukum alam, namun tetap ada risiko besar dan ancaman yang harus dihadapi.
“Bumi adalah planet yang dinamis, dan itu sebabnya kita tidak bisa sepenuhnya menjadi ‘modern’,” tegas Fadjar. (TR Network)