JAKARTA – Orangutan adalah satu-satunya kera besar yang merupakan spesies yang terancam punah yang hidup di luar Afrika. Terdapat tiga spesies yaitu orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus spp), orangutan Sumatera (Pongo abelii), dan orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis). Ketiga spesies ini tergolong dalam status Kritis Terancam Punah menurut Daftar Merah International Union for Conservation of Nature (IUNCN).
Terkait hal tersebut Kepala Pusat Riset Zoologi Terapan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Delicia Yunita Rahman berharap adanya kerja sama antara pusat riset, lembaga konservasi, dan pihak industri bisa terjalin lebih erat untuk mendukung penelitian dan inovasi yang bermanfaat bagi konservasi orangutan. Hal ini disampaikan dalam membuka acara kegiatan Summer School Series #12, Selasa (12/11) lalu.
Peneliti Pusat Riset Zoologi Terapan BRIN, Taufiq Purna Nugraha menyampaikan bahwa memelihara orangutan adalah tindakan ilegal. Orangutan yang disita biasanya dipindahkan ke pusat penyelamatan untuk rehabilitasi, sementara itu, orangutan yang ditemukan di wilayah yang berubah fungsi menjadi lahan lain akan dipindahkan melalui proses translokasi tergantung pada kondisi orangutan tersebut. Menurut data Russon (2009), lebih dari 1.000 orangutan telah diselamatkan di pusat rehabilitasi di Kalimantan.
Meski upaya reintroduksi ke alam liar telah dilakukan, tingkat kelangsungan hidup orangutan yang dilepasliarkan bervariasi antara 20-80%, dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti kesulitan mencari pakan, cedera, serangan predator, penyakit, dan interaksi negatif dengan manusia, sebagaimana dijelaskan oleh Russon (2009).
Dalam paparannya yang bertajuk “Evaluating Stress and Survival in Reintroduced Sumatran Orangutans: Insights from Fecal Glucocorticoid Monitoring”, Taufiq menjelaskan tentang untuk menilai kesuksesan reintroduksi orangutan dapat dilihat dari kesuksesan jangka pendek berupa kelangsungan hidup orangutan dan kemampuan bereproduksi dan kesuksesan jangka panjang berupa bertahannya populasi satwa yang dilepasliarkan. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kelangsungan hidup satwa adalah tingkat stres.
“Untuk menilai tingkat stres pada orangutan Sumatera yang dilepasliarkan kembali ke alam, maka dilakukan pemantauan hormon stres melalui analisis glukokortikoid pada fesesnya,” katanya.
Kemudian dia menambahkan bahwa teknik ini membantu untuk memantau tingkat stres tanpa memerlukan intervensi langsung, sehingga dapat memberikan wawasan tentang kondisi kesejahteraan satwa pada orangutan dalam proses adaptasi di habitat barunya.
“Kegiatan kami bertujuan untuk memahami tingkat stres orangutan selama rehabilitasi dan reintroduksi, dengan memfokuskan pada analisis metabolit hormon glukokortikoid pada feses (fGCM) sebagai metode non-invasif untuk memantau stress” kata Taufiq.
Lebih jauh, Taufiq menambahkan bahwa untuk kepentingan tersebut penelitian ini bekerjasama dengan SOCP (Sumatran Orangutan Conservation Programme) yang membantu dalam pengambilan sampel dan menyediakan data tentang usia, jenis kelamin, kontak dengan manusia, kondisi kesehatan, dan tanda-tanda penyalahgunaan orangutan yang diselamatkan.
“Sampel feses diambil dari 29 orangutan dalam berbagai fase (324 sampel) untuk mengukur kadar (fGCM), yang memberikan gambaran jelas mengenai tingkat stres mereka,” tambahnya.
Selanjutnya, Taufiq menjelaskan bahwa faktor-faktor seperti usia, jenis kelamin, kondisi kesehatan saat kedatangan, dan asal-usul orangutan (dari pemeliharaan manusia atau berasal dari alam liar) tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat fGCM pada feses.Namun, yang menarik adalah tingkat fGCM mencapai puncaknya pada fase awal pasca-pembebasan, menunjukkan bahwa orangutan mengalami stres tinggi saat beradaptasi dengan lingkungan baru.
Pada tahap akhir pasca-pelepasliaran, kadar fGCM kembali normal, yang menyoroti pentingnya periode awal untuk intervensi pengurangan stres. Oleh sebab itu sangat penting adanya dukungan tambahan selama fase awal pasca-pelepasliaran untuk membantu orangutan beradaptasi.
Meskipun ada asumsi bahwa orangutan yang berasal dari alam liar akan mengalami stres lebih rendah, pada kenyataannya tidak ada perbedaan signifikan antara orangutan yang berasal dari peliharaan manusia dan yang berasal dari alam liar dalam hal tingkat stres pasca-pelepasliaran. Hal ini dapat dipengaruhi oleh ukuran sampel yang kecil, dengan hanya dua individu yang berasal dari liat yang diintroduksi dibandingkan dengan sembilan yang berasal dari peliharaan manusia, sehingga hasil ini perlu ditafsirkan hati-hati.
“Pada fase pelepasliaran, stres orangutan meningkat tajam selama dua minggu pertama setelah pelepasliaran, yang dikenal sebagai fase pelepasan awal,” terangnya.
Lebih lanjut, Taufiq menerangkan kembali bahwa data menunjukkan stres akan memuncak pada tahap ini, menurun dan kembali stabil pada fase pelepasan lanjutan. Menurut penelitian sebelumnya oleh Cabezas et al. (2007), hewan dengan kadar glukokortikoid (GC) yang terlalu rendah atau terlalu tinggi cenderung memiliki peluang bertahan hidup yang lebih kecil dibandingkan dengan hewan yang memiliki kadar GC di tingkat menengah. Hal ini menunjukkan bahwa keseimbangan kadar glukokortikoid sangat penting untuk kelangsungan hidup orangutan.
Menurut Taufiq, implikasi dari temuan ini penting bagi upaya reintroduksi orangutan. Metode yang dikembangkan memberikan sarana untuk pemantauan stres selama proses rehabilitasi dan pelepasan kembali, temuan ini juga menunjukkan perlunya strategi pelepasan bertahap. Pendekatan pelepasan soft-release yang diperpanjang, dengan memberikan akses berkelanjutan ke dukungan manusia seperti sumber pakan, dapat membantu mengurangi stres.
Selanjutnya Taufiq menyampaikan kesimpulannya bahwa tidak ditemukan korelasi signifikan antara usia, jenis kelamin, riwayat kekerasan, atau kondisi kesehatan dengan kadar fGCM selama proses pelepasliaran. Namun, tingkat stres orangutan lebih tinggi pada fase pelepasliaran dibandingkan dengan fase rehabilitasi.
Penelitian ini mendukung peningkatan protokol pelepasan dengan pendekatan bertahap, aklimatisasi lebih lama, dan pelatihan pra-pelepasliaran untuk orangutan yang lahir di dalam pemeliharaan manusia. Pemantauan kadar fGCM memberikan cara non-invasif bagi konservasionis untuk mengukur stres orangutan di lapangan dan memungkinkan intervensi khusus bagi individu yang berisiko. “Temuan ini juga berpotensi diterapkan pada spesies lain yang mengalami pelepasliaran kembali, dengan fokus penelitian selanjutnya pada pelacakan individu yang berhasil bertahan hidup,” pungkas Taufiq. (TR Network)