JAKARTA – Manajer Proyek Indonesian Education Promoting Foundation (IEPF) Yasunobu Kuboki membagikan pengalamannya, bahwa Jepang menerapkan metode pengajaran untuk pendidikan lingkungan kepada anak-anak. Tujuannya agar anak-anak tumbuh menjadi generasi penerus masa depan dengan kemampuan berpikir dan bertindak.
Hal tersebut disampaikannya pada seminar tentang “Transformasi Pendidikan Lingkungan dalam Pencapaian SDGs di Indonesia: Digitalisasi Bahan Ajar & Lesson Study”, atas kerja sama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Pusat Riset Pendidikan (Pusrisdik) dengan IEPF dan Japan International Cooperation Agency (JICA) , di Kawasan Sains Sarwono Prawirohardjo Jakarta, Selasa (12/11).
Untuk melakukan itu, ia akui perlu kerja sama antara pemerintah dan guru-guru, salah satunya pada pembuatan bahan ajar.
”Kami dibantu perusahaan penerbit buku pelajaran terbesar di Jepang. Dalam menerapkannya, kami juga mendapatkan dukungan dari sekolah mulai tingkat dasar sampai menengah, bahkan perguruan tinggi,” jelasnya sambil menerangkan aksi awal yang dilakukan dengan belajar cara memilah dan mengelola sampah secara komprehensif.
Trina Fizzanty Kepala Pusrisdik BRIN menyampaikan pemikirannya tentang sistem dalam melakukan pendekatan untuk mengajar pendidikan lingkungan. Program tersebut, diharapkannya agar anak-anak peduli dan bertanggung jawab terhadap lingkungannya, diawali dengan membekali sekolah-sekolah dalam mendorong warga negara agar mempunyai tanggung jawab pada lingkungan.
”Pendidikan lingkungan membutuhkan pemahaman kita untuk berkembang. Caranya, para siswa peduli dan bertanggung jawab untuk lingkungan dari mengetahui hingga memahami. Sedangkan guru membantu siswa dalam mengembangkan cara berpikir mereka melalui pemikiran sistem. Menciptakan pengetahuan bersama, membangun pemahaman tentang kehidupan, dan memecahkan masalah,” ucapnya.
Shinji Nobira, sebagai pembicara dari Aichi University of Education Jepang memaparkan tentang pendidikan moral untuk pendidikan lingkungan.
“Pada prinsipnya, tujuan pendidikan moral untuk memelihara moralitas anak, kesejahteraan sebagai tujuan bersama. Berpikir secara mandiri, dan bekerja sama dengan orang lain untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik,” ungkapnya.
Moralitas, ditekankannya, dapat dipupuk secara sengaja melalui pendidikan moral atau secara tidak sengaja melalui kehidupan sehari-hari.
Selanjutnya, Fadilah Hasim, Ketua Yayasan Semarak Pendidikan Indonesia (YSPI) yang juga Kepala Pusat Riset Teknologi Penerbangan BRIN, memaparkan tentang pendidikan lingkungan di daerah terpencil menggunakan bahan ajar digital. Ia mengungkapkan tantangan pendidikan lingkungan di daerah terpencil yaitu akses yang terbatas ke sumber daya Pendidikan.
“Transportasi antar pulau dengan perahu kecil menyebabkan berbagai keterbatasan, seperti kurangnya tenaga pendidik, keterbatasan kurikulum yang relevan dengan kondisi setempat. Selain itu, kurangnya pemanfaatan teknologi dalam pendidikan juga menjadi tantangan yang harus dihadapi,” imbuhnya.
Menurutnya, penanaman nilai-nilai pendidikan lingkungan dengan kesadaran, pengetahuan, keterampilan, sikap dan partisipasi akan lebih efektif dilakukan secara intrakurikuler sejak dini dan terstruktur.
“Secara intrakurikuler pembelajaran dapat diberikan dalam mata pelajaran khusus, atau integratif yang disisipkan dalam mata pelajaran yang sudah ada,” tambahnya.
Yuko Ishibashi dari IEPF, dalam paparannya menjabarkan proyek yang akan dilakukan untuk mendukung SDGs pendidikan lingkungan di pulau-pulau terpencil, menggunakan pengajaran digital dengan materi dan pelajaran bergaya Jepang.
“Tujuan yang ingin kami capai adalah kualitas pendidikan lingkungan yang akan ditingkatkan di sekolah dasar di Kabupaten Tabanan, Kabupaten Manggarai Barat, dan Kota Kupang. Sebelumnya telah diterapkan dengan model pendidikan lingkungan Kota Tangerang Selatan dengan menggunakan bahan ajar digital,” terangnya.
Terakhir, Aldila Rahma Analis Hasil Penelitian Pusrisdik BRIN, memaparkan tema ”Benteng Tangguh di Sekolah: Pahami Lingkungan sekitar, Sadari Risiko Bencana”. Dari tema tersebut, ia menjabarkan pengembangan pendidikan ekologi di sekolah yang fokus pada kegiatan pedagogi dengan pelibatan berbagai media dan bahan ajar.
”Ini dengan membekali peserta didik dengan keahlian, sikap dan tindakan agar lebih protektif terhadap lingkungan,” ujarnya.
Aldila menekankan, pendidikan ekologi dan kebencanaan saling beririsan dan mengintegrasikan strategi adaptasi bersama peningkatan nilai kualitas lingkungan, pengelolaan sumber daya, dan upaya tata kelola untuk memitigasi dampaknya.
“Ada dua konsep ketahanan ekosistem sekolah terhadap bencana yaitu, pertama, kapasitas struktural terkait fasilitas sarana prasarana sekolah. Kedua, kapasitas non struktural seperti perilaku warga sekolah, tata kelola, kemitraan dengan berbagai stakeholder, dan kesiapsiagaan bencana,” pungkasnya. (TR Network)