JAKARTA – Greenpeace Indonesia meluncurkan Panduan Bebas-Deforestasi untuk Petani Kecil. Pedoman atas kerja sama sejumlah lembaga organisasi masyarakat sipil ini berisi langkah-langkah praktis bagi petani kecil seperti petani sawit, karet, hingga cokelat, untuk menjaga hutan mereka.
Pedoman ini juga untuk memastikan komoditas yang dihasilkan bisa menembus pasar global karena sesuai dengan ketentuan bebas-deforestasi.
“Petani kecil kerap disalahkan atas terjadinya deforestasi di Indonesia dan kemudian tersisih dari pasar,” kata Ketua Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Sabaruddin dalam pernyataannya yang disiarkan Greenpeace Indonesia, Senin, 25 Juni 2024.
“Namun, kolaborasi kami dengan petani kecil membuktikan bahwa mereka bisa melakukan praktik bebas-deforestasi,” ujar Sabaruddin.
Dia berharap dengan pedoman ini, para petani kecil anggota mendapat akses yang lebih adil terhadap pasar sehingga bisa membantu pemerintah mewujudkan komitmen mengurangi deforestasi.
Panduan Bebas-Deforestasi untuk Petani Kecil Indonesia ini dikembangkan selama lebih dari enam tahun atas kolaborasi High Carbon Stock Approach (HCSA), SPKS, Yayasan Petani Pelindung Hutan (4F), Greenpeace, dan High Conservation Value Network (HCVN).
Proses tersebut juga mencakup uji coba lapangan bersama petani kecil di Kalimantan Barat selama empat tahun. Demi memastikan panduan ini sederhana dan mudah diadaptasi oleh komunitas lokal.
Dalam pernyataannya, Greenpeace menjelaskan pedoman ini berisi petunjuk praktis yang sederhana. Misalnya bagaimana komunitas petani dapat mengidentifikasi dan memetakan area tutupan hutan dan lahan di kampung mereka.
Dalam setiap tahapan praktisnya, panduan ini mengharuskan adanya persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan atau padiatapa (FPIC–free, prior, and informed consent) dari komunitas terkait.
Panduan Bebas-Deforestasi untuk Petani Kecil ini akan memperkuat kelembagaan dan tata kelola sumber daya alam, serta menerapkan perangkat manajemen dan pemantauan perlindungan hutan, juga memberikan insentif bagi masyarakat untuk mendukung perlindungan tersebut.
“Kami para petani yang tergabung dalam Komunitas Poyo Tono Hibun sebagai masyarakat Dayak Hibun sangat mendukung adanya Toolkit Bebas-Deforestasi ini,” kata perwakilan petani dari Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat Valens Adi.
Valens mengatakan, pendoman ini dikembangkan berdasarkan masukan dari para petani, masyarakat adat dan komunitas lokal, ketika ini diujicobakan di Kalimantan Barat. Ia mengatakan sudah melihat sendiri dampak positifnya.
“Kami membutuhkan bantuan dari semua pihak agar para petani dapat menerapkan praktik-praktik terbaik dan terus melestarikan hutan tanpa meninggalkan kearifan lokal dan budaya kami,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Yayasan Petani Pelindung Hutan (4F) Tirza Pandelaki mengatakan pendomanan ini hasil kerja sama dengan para petani kecil di desa, termasuk perempuan petani dan anak muda dan menyaksikan hutan yang terjaga serta ada peningkatan dalam kehidupan para petani kecil.
“Kini kami berharap panduan ini bisa diterapkan di seluruh Indonesia, serta mendatangkan insentif dan menguntungkan petani kecil untuk melindungi hutan mereka,” katanya.
Menurut Kepala Global Kampanye Hutan Indonesia Greenpeace, Kiki Taufik, dengan panduan ini petani kecil dapat membantu pemerintah Indonesia untuk mengatasi krisis iklim. Ia mengatakan deforestasi masih menjadi isu besar untuk Indonesia.
“Tapi dengan panduan ini petani kecil bisa berkontribusi mencapai target konservasi dan komitmen iklim Indonesia,” katanya.
“Greenpeace berkolaborasi dalam proses ini agar petani kecil bisa membuktikan bahwa mereka bisa bebas-deforestasi, melindungi hutan, dan memenuhi sejumlah persyaratan, misalnya yang diatur dalam UU Komoditas Bebas Deforestasi Uni Eropa atau EUDR,” ujar Kiki.
Direktur Eksekutif HCSA Jesús Cordero mengatakan, EUDR dan peraturan internasional lainnya tak bisa mengabaikan besarnya potensi kontribusi petani kecil dalam mewujudkan rantai pasok yang bebas deforestasi. Ia mengatakan pedoman ini memungkinkan petani skala kecil untuk membuktikan mereka mampu memproduksi komoditas dan melestarikan hutan serta keanekaragaman hayati, dengan tetap menghormati hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal.
“Mereka dapat menjadi kunci yang menghubungkan rantai pasok dan pasar yang berkelanjutan ketika bermitra dengan produsen dan pembeli besar,” katanya. (TR Network)