JAKARTA – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Pusat Riset Politik (PRP) mendiskusikan keselarasan tata kelola daratan dan lautan di Ibu Kota Nusantara (IKN) dan Papua Barat Daya, di Jakarta, Senin, 23 Desember 2024.
Koordinator Klaster Ekonomi Politik dan Isu-Isu Strategis PRP BRIN Irine Hiraswari Gayatri mengungkapkan, tata kelola maupun demokratisasi memang diharapkan menjadi perspektif untuk mengatasi persoalan. Persoalan ini biasa muncul dalam penerapan dan perumusan kebijakan yang inklusif dan adil dalam setiap pengambilan keputusan.
“Kita melihat ada persoalan, di antaranya paradigma kebijakan yang timpang, termasuk kebijakan untuk orientasi daratan dan lautan,” katanya.
Hal ini yang melatarbelakangi pembahasan riset dari dua lokasi, yaitu IKN dan Papua. Di mana, banyak muncul praktik-praktik kompetitif dari berbagai aspek dalam kaitan dengan pembangunan.
Sementara Peneliti World Resources Institute Indonesia Ahmad Dhiaulhaq memaparkan pelestarian Sumber Daya Alam (SDA) dari pegunungan ke pesisir (ridge to reef) di Kabupaten Raja Ampat dan Sorong, Papua Barat Daya.
Dia mengatakan, Papua Barat Daya menjadi salah satu provinsi termuda ke-38 sesuai UU Nomor 29 tahun 2022.
Dikatakannya, provinsi ini memiliki ekosistem dan SDA yang beragam dan berlimpah. Namun, pengelolaan sumber dayanya masih relatif kompleks oleh berbagai sektor, aktor, dan berbagai level.
“Tetapi, di sini masih kurang koordinasi antar sektor, dengan integrasi yang masih terbatas antara perencanaan di daratan dan lautan,” jelasnya.
Pendekatan ridge to reef ini, diterangkannya, menawarkan kerangka kerja untuk mengintegrasikan ekosistem darat dan laut. Juga, mendorong pengelolaan SDA dan pembangunan sosial ekonomi yang lebih terintegrasi.
Pendekatan ini juga menyoroti bagaimana kegiatan di hulu seperti konvensi hutan, penebangan, penambangan, dan pembangunan infrastruktur yang berdampak pada habitat penting di hilir. Seperti hutan bakau, lamun, dan terumbu karang.
Lalu, penerapan ridge to reef memerlukan model tata kelola inovatif yang mengintegrasikan perspektif, kepentingan berbagai pemangku kebijakan, kepentingan yang beragam, serta pembiayaan berkelanjutan agar berhasil.
“Untuk itu, para pemangku kebijakan yang baru perlu mempertimbangkan untuk mengintegrasikan kembali pendekatan ridge to reef dalam pengelolaan SDA di Papua Barat Daya, dengan mengintegrasikan pengetahuan dan tradisi lokal,” ujar Ahmad.
Koordinator Tim Masyarakat Sipil dan Sumber Daya Alam PRP BRIN Imam Syafi’i membahas tantangan implementasi Regionally and Locally Determined Contribution (RLDC) dalam pandangannya terhadap IKN dan masa depan Teluk Balikpapan.
Imam menjelaskan, risetnya tersebut untuk melihat sejauh mana badan otorita IKN membangun sebuah mitigasi. Tim risetnya ingin meninjau apakah ada perubahan iklim di wilayah pesisir IKN. Juga, tantangan implementasi dari dokumen RLDC tersebut. Di mana, dokumen tersebut sebagai sebuah peta jalan agar IKN inklusif dan memberi perhatian terhadap perubahan iklim.
“Pembangunan infrastruktur IKN mendorong perubahan lingkungan pada ekosistem lokal (pesisir) dan tantangan keberlanjutan, serta tata kelola lingkungan di Teluk Balikpapan,” ujarnya.
Imam menambahkan, RLDC sebagai peta jalan Nusantara nol emisi 2045, sebagai komitmen global dalam menghadapi perubahan iklim. Hal itu mencakup lima sektor, yaitu pemanfaatan hutan dan penggunaan lahan, energi, agrikultural, pengolahan sampah, dan industri. Implementasi program kerja kolektif ini melibatkan banyak sektor dan aktor di semua level.
“Untuk menyelaraskan tata kelola lingkungan di Teluk Balikpapan, setidaknya untuk jangka pendek adalah zona khusus dengan pengelolaan bersama. Caranya, dengan memberdayakan masyarakat lokal, desentralisasi, akuntabilitas, dan transparansi tata kelola,” urainya.
Namun hal itu, menurutnya tidak dengan mengabaikan aspek ekonomi. Tetapi, di sisi lain, tetap mempertahankan aspek-aspek keberlanjutan lingkungan. (TR Network)