JAKARTA – Sebuah temuan bersejarah dipaparkan oleh Alqis Lukman, Peneliti Pusat Riset Arkeologi, Lingkungan, Maritim dan Budaya Berkelanjutan (PR ALMBB).
Ia menyampaikan hasil penelitian mengenai riset arkeologi dan pemetaan topografi lanskap budaya kawasan Gunung Penanggungan menggunakan metode LiDAR atau Light Detection and Ranging. Hasil riset awal itu dipaparkan di depan peserta webinar “Lanskap Arkeologi Penanggungan: Dari Penelitian ke Pelestarian Berkelanjutan”, Kamis, Desember 2024.
Riset ini merupakan hasil kolaborasi PR ALMBB dengan Universitas Surabaya, Balai Pelestarian Kebudayaan XI, dan Dinas Budaya dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur.
“Dari 200 titik situs yang sudah teridentifikasi, ditemukan 958 titik baru yang memiliki potensi peninggalan arkeologi. Ini merupakan hasil penelitian awal, lalu membutuhkan berbagai verifikasi ke tahapan berikutnya dengan cara kerja sama dalam melakukan survey lapangan,” jelas Alqis.
Alqis menjelaskan, LiDAR merupakan teknologi pengambilan data atau pemetaan yang dapat menembus penetrasi ke daerah permukaan tanah. Di mana, vegetasi-vegetasi di atasnya dapat dihilangkan, sehingga kontur permukaan tanah dan potensi-potensi peninggalan arkeologi yang berada di permukaan tanah tersebut dapat dilihat.
“Data LiDAR menggunakan sensor cahaya, sehingga bisa mengubah point cloud LiDAR menjadi peta 3D,” ungkapnya.
Lalu ia menjelaskan, point cloud tersebut bisa mengambil data permukaan tanah dan data-data lain yang ada di permukaan tanah. Seperti vegetasi, permukiman, juga objek lain di atas permukaan tanah. Sehingga data LiDAR bisa digunakan dalam arkeologi.
Dijelaskannya, para peneliti juga menggunakan LiDAR untuk melihat potensi di sisi utara lereng Gunung Welirang. Ini berdasarkan overlay pada peta, diperoleh daerah akuisisi yang akan diambil seluas sekitar 200 km persegi. Setelah dilakukan analisis lebih lanjut di lereng bagian barat gunung Penanggungan, dengan pola yang hampir sama, bisa ditemukan titik-titik baru.
“Akuisisi data LiDAR yang kita dapatkan dengan area sekitar 200 km persegi yakni di sisi utara adalah kawasan Gunung Penanggungan, di sisi selatan yaitu lereng utara Gunung Arjuno-Welirang dengan ekstensi-ekstensi bagian utara, barat, dan timur yang merupakan wilayah dengan signifikansi dari situs budaya dan asosiasinya yang cukup penting untuk wilayah ini,” kata Alqis.
Di dalam pembahasan lanskap arkeologi ini, Kepala PR ALMBB BRIN Marloon Ririmasse mengungkapkan, kegiatan dan kolaborasi yang sudah dilakukan bisa menjadi kegiatan yang bersifat dari hulu ke hilir dan bisa langsung menghasilkan dampak kepada masyarakat di kawasan Penanggungan. Tak menutup kemungkinan juga bisa mencakup se- provinsi Jawa Timur dalam arti yang lebih luas.
“Dampak yang dihasilkan tidak hanya dalam jangka pendek, tetapi dampak jangka panjang dan berkelanjutan,” harapnya.
Kepala Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra BRIN, Herry Jogaswara mengapresiasi kegiatan kolaboratif ini. Ia berharap kerja kolaborasi ini menghasilkan satu dokumen penting terkait wilayah Penanggungan.
Janiarto Parung, Direktur Integrated Outdoor Campus (IOC) Universitas Surabaya (Ubaya) menjelaskan tentang Museum Pawitra dan upaya pelestarian situs Gunung Penanggungan. Museum Pawitra berisi ratusan artefak dari situs kuno di puncak Gunung Penanggungan serta menampilkan foto-foto situs penting yang didokumentasikan Tim Ekspedisi Ubaya di atas Gunung Penanggungan.
Janiarto berharap Museum Pawitra mampu menyampaikan informasi tentang tinggalan arkeologis Gunung Penanggungan, memberikan pemahaman kepada masyarakat akan nilai- nilai historis-kultural Gunung Penanggungan, serta mengembangkan pengetahuan tentang sejarah-budaya Gunung Penanggungan.
Lebih lanjut, Endah Budi Heriani, Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) XI Kementerian Kebudayaan menyampaikan kawasan Cagar Budaya (CB) Gunung Penanggungan merupakan CB peringkat Provinsi berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor 118/18/KPTS/013/2015 yang kemudian direvisi melalui Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor 188/627/KPTS/013/2017. Luas Kawasan Cagar Budaya Gunung Penanggungan, yaitu 3.326, 752 ha, berdasarkan hasil delineasi tahun 2017 dan terdapat 198 tinggalan cagar budaya yang berasal dari era kerajaan Hindu-Budha abad 9- 16 Masehi (data 2017).
Di kawasan ini, lanjut Endah, terdapat Jalur Kuno Pawitra Pradaksinapatha, jalan setapak yang telah ada sejak ratusan tahun silam. Jalur ini yang dilalui para peziarah dalam melakukan ritual keagamaan di Gunung Penanggungan hingga ke puncak.
Perlindungan CB, diterangkannya, sebagai ekskavasi penyelamatan candi selokelir dan situs candi Kesiman, pengamanan penghentian pendirian bangunan di puncak Gunung Penanggungan, penghentian pengerukan tanah, evakuasi pohon tumbang dan pemindahan ikan di Petraan, Jolotundo, serta pemeliharaan candi dan pembersihan jalur oleh juru pelihara.
Pada kesempatan yang sama, Dwi Supranto, Plt. Kepala Bidang Cagar Budaya dan sejarah Dinas Budaya dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur menyampaikan pelestarian warisan budaya dan pengembangan pariwisata berkelanjutan di kawasan Gunung Penanggungan. Menurutnya, potensi pengembangan pariwisata Gunung Penanggungan adalah potensi wisata alam dan pendakian.
“Ke depan perlu sinergitas dan kemitraan dalam upaya pengelolaan kawasan cagar budaya Gunung Penanggungan,” ujar Supranto. (TR Network)