JAKARTA – Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (Ditjen PPI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersama Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) menggelar acara Sosialisasi Hasil United Nations Climate Change Conference 2024 (COP29/CMP19/CMA6, SBSTA61 & SBI61), di Jakarta, Selasa, 10 Desember 2024.
Pada sosialisasi hasil COP29 UNFCCC, Baku, Azerbaijan, 11–24 November 2024, Menteri Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) Indonesia, Hanif Faisol Nurofiq menyampaikan beberapa capaian utama, yaitu: disepakatinya Baku Climate Unity Pact yang mencakup New Collective Quantified Goal (NCQG) atau komitmen negara maju untuk pendanaan aksi iklim negara berkembang—termasuk Indonesia—mencapai US$300 miliar per tahun pada 2035. Meski jumlah tersebut masih kurang dari kebutuhan pendanaan iklim sebesar US$1,3 triliun per tahun pada 2035, terdapat peningkatan dari komitmen sebelumnya sebesar US$100 miliar per tahun.
Hasil berikutnya yaitu tercapainya kesepakatan Article 6 of the Paris Agreement mengenai Cooperative Mechanism (Mekanisme Kerjasama) untuk mendukung pemenuhan Nationally Determined Contributions (NDC). Sebagai tindak lanjut, Indonesia akan mengoptimalkan peluang perdagangan karbon, dengan tetap mengantisipasi potensi terjadinya junk credit melalui penguatan mekanisme kendali nasional dan mengikuti proses di UNFCCC.
Selanjutnya disepakatinya Agenda Loss and Damage (LnD) Fund yang mana beberapa negara maju mencanangkan pendanaan (pledge) sebesar US$731 juta untuk membantu negara-negara yang rentan terhadap dampak perubahan iklim.
Adapun agenda lain adalah Indonesia bersama Friends of Ocean menginisiasi pernyataan bersama (joint statement) yang mendorong pengarusutamaan hubungan laut (Ocean Climate Nexus) dan iklim, serta integrasi aksi berbasis laut pada NDC.
Dalam arahannya, Utusan Khusus Presiden Indonesia, Bidang Perubahan Iklim dan Energi, Hashim S. Djojohadikusumo, menyatakan bahwa sikap Pemerintah Indonesia adalah “no complaints and no demands,” yang berarti Indonesia tidak mengeluh maupun menuntut apa pun kepada komunitas internasional. Sebaliknya, Indonesia menawarkan ide-ide dan program untuk mengatasi perubahan iklim.
Ke depan, Indonesia berencana membangun pembangkit listrik dengan kapasitas 103 GW, di mana 75%-nya menggunakan energi baru terbarukan, antara lain Pembangkit Listrik Tenaga Bayu, Pembangkit Listrik Tenaga Air, Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (geotermal), dan Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa. Selain itu, Indonesia juga berencana membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir dan Pembangkit Listrik Tenaga Gas Alam sehingga tidak ada satu pun yang berasal dari batu bara.
Sebagai tambahan, Indonesia ikut menawarkan program Carbon Capture and Storage (CCS) yang saat ini potensinya mencapai 500–700 Gigaton CO2.
“Program lain yang ditawarkan oleh Indonesia adalah kredit karbon sebesar 577 juta Ton CO2e, selain itu Indonesia menawarkan Kembali 600 juta ton kredit karbon yang saat ini masih dalam tahap verifikasi”, jelas Hashim.
Hashim ikut meluruskan soal sikap Indonesia terhadap pemberitaan yang berkembang mengenai phase-out Pembangkit Listrik Tenaga Batubara saat di COP29 di Baku, Azerbaijan. Ia menegaskan, jika Pemerintah Indonesia tidak akan melakukan phase-out Pembangkit Listrik Tenaga Batu Bara, melainkan hanya akan melakukan phase-down, atau menurunkan jumlah pembangkit listrik tenaga batubara.
Terakhir, Hashim menyampaikan bahwa Presiden Prabowo telah menyetujui untuk melakukan reforestasi secara masif dan menggiatkan perhutanan sosial.
Menjelaskan reforestasi tersebut, Menhut Raja Juli menyampaikan bahwa sesuai arahan Presiden Prabowo Subianto, program rehabilitasi lahan kritis seluas 12,7 juta hektare (ha) sedang disiapkan dengan peta jalan (roadmap) dan perencanaan strategis terkait reforestasi lahan kritis.
“Kebijakan dan program ini akan sangat signifikan dalam upaya pengurangan emisi gas rumah kaca,serta peningkatan kapasitas penyerapan karbon di Indonesia,” tambah Menteri Raja Juli.
Dikesempatan yang sama, Menteri Lingkungan Hidup Hanif menyampaikan, bahwa selain Tim Negosiasi, terdapat Tim Paviliun Indonesia sebagai soft diplomasi. Paviliun Indonesia di COP29 telah menampilkan berbagai showcase keberhasilan aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dari berbagai elemen masyarakat selain Pemerintah, yakni akademisi/pergurun tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan para rekan dunia usaha.
Paviliun Indonesia telah menyelenggarakan total 44 (empat puluh empat) talkshow selama 2 minggu pelaksanaan, dengan total pembicara 215 (dua ratus lima belas) pembicara.
Selain itu pada COP29, Delegasi Indonesia menghasilkan beberapa kerjasama bilateral. Hal ini sesuai yang disampaikan Menteri Hanif Faisol bahwa Delegasi Indonesia harus aktif menjalin kerjasama bilateral antara negara ataupun lembaga untuk lebih banyak hasil yang didapatkan Indonesia dari keikutsertaan di COP29.
”Forum negosiasi multilateral tidaklah dengan mudah dan cepat dapat menghasilkan kesepakatan yang sesuai keinginan kita. Untuk itu, Delegasi Indonesia telah menyiapkan Plan B terutama untuk mendapatkan tangible result dari apa yang kita targetkan sebagai low hanging fruits,” terang Menteri Hanif.
Untuk itu, selama COP29 Indonesia menjalin kerjasama bilateral dengan sejumlah mitra strategis, antara lain:
(1) Peluncuran Mutual Recognition Arrangement (MRA) untuk perdagangan karbon melalui proyek investasi Jepang dengan skema Joint Crediting Mechanism (JCM) yang tercatat dalam Sistem Registri Nasional (SRN) Indonesia, senilai lebih dari US$10 miliar untuk lebih dari 50 proyek baru. Ke depan akan diupayakan adanya skema MRA yang sama bagi negara-negara lain yang berminat melakukan kerjasama bilateral dalam perdagangan karbon.
(2) kerjasama dengan World Resources Institute untuk membahas kerjasama terkait forest monitoring system.
(3) Kerjasama dengan Gold Standard dan LEAF COALITION untuk untuk membahas kerjasama pengakuan standar dan metodologi pasar karbon sukarela.
Kerjasama-kerjasama tersebut diharapkan menjadi landasan kuat bagi aksi iklim Indonesia yang lebih berdampak. (TR Network)