DUBAI – Pertemuan 10th Facilitative Working Group (10th FWG) Local Communities and Indigenous People Platform (LCIPP) Road to UNFCCC COP28 dilaksanakan pada tanggal 25 – 28 November 2023 di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA).
Pada pertemuan tersebut, Indonesia disebut sebagai role model dunia untuk ketahanan iklim berbasis masyarakat khususnya masyarakat adat oleh Pirawan Wongnithisathaporn, Programme Office Asia Indigenous Peoples Pact (AIPP) Foundation Thailand.
Pada pertemuan yang dihadiri oleh perwakilan 14 regional masyarakat Adat dunia, Indonesia yang merupakan bagian dari UN Regional Group Asia Pacific, diwakili oleh Bambang Supriyanto, Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, yang menyampaikan rekomendasi mengenai perkembangan pengakuan Masyarakat Hukum Adat dan program Perhutanan Sosial, serta kolaborasi multi pihak dalam upaya pemberdayaan berbasis kaarifan lokal untuk kelestarian hutan dan alternatif penghidupan.
Bambang menyampaikan bahwa Indonesia merupakan negara kaya yang memiliki 1.128 etnis, 718 bahasa yang tersebar di 76.655 desa di nusantara, yang menjadi modal dalam pembangunan negara melalui semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”. Hal ini diperkuat dengan aturan yang disebutkan pada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dimana disebutkan keberadaan Masyarakat Hukum Adat beserta wilayahnya diakui oleh negara dan ditetapkan melalui peraturan daerah.
Sementara itu lanjutnya, masyarakat yang bukan dikategorikan sebagai Masyarakat Hukum Adat, diakui sebagai local communities. Keberadaaan local communities ini mendapatkan pengakuan melalui Program Perhutanan Sosial yang bertujuan memberikan akses kelola hutan kepada masyarakat yang tinggal di kawasan hutan dan juga upaya pengentasan kemiskinan.
Lebih jauh Bambang menyampaikan bahwa sejak tahun 2016 hingga 2023, Pemerintah Indonesia telah menetapkan 131 Surat Keputusan Hutan Adat yang tersebar di 18 provinsi dan 40 kabupaten dengan total luas sekitar 244.195 hektar dan melibatkan 76.079 kepala keluarga.
Adapun pada tahun 2023, terdapat tambahan 23 Hutan Adat dengan luas 90.873 hektar, dengan luas indikatif Hutan Adat seluas 836.141 hektar yang tersebar di 16 provinsi.
Atas pemaparan tersebut, Programme Office Asia Indigenous Peoples Pact (AIPP) Foundation Thailand, Mr. Pirawan Wongnithisathaporn memuji dan mengapresiasi apa yang sudah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia.
“Beruntung Indonesia mempunyai pemerintah yang aktif dalam pengakuan Adat, berbeda dengan negara Thailand. Oleh karena itu, Indonesia dapat menjadi role model bagi dunia internasional”, ujar Mr. Pirawan Wongnithisathaporn, Programme Office Asia Indigenous Peoples Pact (AIPP) Foundation Thailand.
Peningkatan jumlah dan luasan Hutan Adat di Indonesia dipengaruhi oleh kerja sama antara pusat dan daerah yang mendorong terbitnya peraturan daerah Masyarakat Hukum Adat dan pelaksanaan verifikasi lapangan oleh Tim Terpadu. Strategi ini menjadi terbosan penting, sehingga tidak diragukan lagi bahwa setiap tahun terjadi peningkatan pengakuan terhadap Masyarakat Hukum Adat dan luasan wilayah hidupnya.
Adapun target Perhutanan Sosial di Indonesia adalah 12,7 juta hektar, yang tersebar di ekosistem hutan pesisir, lahan gambut, dan hutan darat, dan hingga September 2023, Pemerintah telah berhasil mendistribusikan 9.642 unit Izin Perhutanan Sosial seluas ± 6,3 juta hektar yang tersebar di seluruh fungsi kawasan hutan yang dikelola oleh 1,3 juta kepala keluarga atau hampir 5 juta jiwa sebagai penerima manfaat.
Sementara itu pengelolaan hutan berbasis Perhutanan Sosial juga dilakukan di Nepal, hanya saja bedanya pemerintah selain memberikan akses untuk pengelolaan hutan negara juga memberikan pendampingan dan akses untuk pemodalan dan pasar.
“Ini merupakan paket yang lengkap untuk produktivitas dan nilai tambah bagi alternatif penghidupan”, ujar Pema Wangmo LAMA, Programme Coordinator National Indigenous Women’s Federation (NIWF) Nepal.
Selanjutnya Bambang juga menekankan bahwa setelah penetapan Hutan Adat, pendampingan perlu dilakukan agar kearifan lokal dan pengetahuan tradisional dapat dipertahankan masyarakat adat melalui kerja kolaboratif multipihak yang didukung oleh Anggaran Pendapatan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan Belanja Daerah, dan dana multilateral serta filantropi.
Kepedulian masyarakat umum diwujudkan dalam bentuk penguatan hutan adat melalui pendanaan filantropi yang dikoordinasikan oleh Badan Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup yang telah menggalang pendanaan filantropi dari 4 insititusi internasional untuk mendukung 108 Masyarakat Adat.
Adapun anggaran multipihak lainnya adalah pendanaan pengurangan emisi berbasis result based payment dari Green Climate Fund dan Norwegia.
Selain itu, pemerintah Indonesia juga menjalin kerjasama dengan lembaga internasional, yaitu: KfW dan juga Bank Dunia melalui proyek Forest Program di Sanggau Kalimantan Barat dan Proyek Penguatan Perhutanan Sosial di 4 (empat) provinsi dalam rangka meningkatkan kegiatan pendampingan multi-pihak, seperti: peningkatan kapasitas Masyarakat Setempat dan Masyarakat Adat, fasilitasi dan penguatan mata pencaharian, serta peningkatan pengelolaan hutan lestari.
Adapun perihal kontribusi Perhutanan Sosial untuk penurunan emisi disebutkan bahwa, “Kami menghitung tutupan hutan dari 4,06 juta hektar target Perhutanan Sosial Hutan dan Penggunaan Lahan Lainnya (FOLU) selama periode 2016 hingga 2021 dibandingkan dengan periode 2006 hingga 2015 sebagai FREL (tingkat emisi referensi hutan), implementasi Perhutanan Sosial dapat memberikan kontribusi sebesar 31,9 juta Ton CO2eq terhadap peningkatan cadangan karbon nasional untuk mencapai FOLU Net Sink”, ujar Bambang.
Pada kesimpulannya, Bambang menekankan peran masyarakat sangat penting dalam mitigasi perubahan iklim melalui program Perhutanan Sosial mengingat ketika masyarakat memiliki investasi sosial pada hutan yang diperuntukkan bagi masyarakat dan mendapatkan manfaat dari hutan tersebut, maka secara “otomatis” masyarakat akan menjaga kelestarian kawasan hutan mereka dan menjaga dari kebakaran hutan dan pembalakan liar. (TR Network)