JAKARTA – Realisasi belanja aksi iklim di Indonesia mencapai Rp610 triliun dalam periode 2016–2023. Kementerian Keuangan mencatat anggaran tersebut digunakan untuk berbagai program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral Kementerian Keuangan, Boby Wahyu Hernawan, menjelaskan capaian tersebut dalam panel diskusi Kickoff Penyusunan National Adaptation Plan (NAP) pada Jumat (2/5/2025). Program ini dipantau melalui skema Climate Budget Tagging (CBT) yang telah diterapkan sejak 2016.
“Total belanja dari APBN ke berbagai kementerian dan lembaga mencapai Rp610,1 triliun. Rata-rata anggaran per tahun mencapai Rp76,3 triliun atau sekitar 3,2% dari APBN,” ungkap Boby.
Seiring waktu, porsi anggaran adaptasi perubahan iklim terus meningkat. Pada 2021 hingga 2023, belanja adaptasi mulai mendominasi, khususnya di sektor ketahanan air, kesehatan, dan pertanian.
Kemenkeu mencatat bahwa 47,1% dari total belanja adaptasi periode 2018–2023 dialokasikan untuk ketahanan air. Anggaran tersebut digunakan untuk pembangunan waduk, embung, irigasi, serta berbagai infrastruktur pendukung pertanian.
“Berbagai kementerian dan lembaga telah menjalankan aksi adaptasi, walau belum semua disadari sebagai bagian dari strategi adaptasi nasional,” kata Boby.
Selain skema CBT di tingkat pusat, Kementerian Keuangan kini mengembangkan Regional Climate Budget Tagging (RCBT) di tingkat provinsi. Sistem ini menggunakan auto tagging untuk mengidentifikasi anggaran terkait mitigasi dan adaptasi di sektor pertanian, kehutanan, kesehatan, dan lainnya.
Salah satu contoh sukses adalah Provinsi Jambi, yang mendapatkan pendanaan berbasis hasil (Result Based Payment/RBP) dari World Bank melalui mekanisme on granting yang dikelola Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH).
“Dana dianggarkan dan dibelanjakan terlebih dahulu dalam periode 2020–2025, lalu kami bantu proses pencairan hibahnya dari World Bank,” jelas Boby.
Beragam Skema Pendanaan Aksi Iklim
Kemenkeu juga memaparkan berbagai opsi optimalisasi pendanaan perubahan iklim, di antaranya:
- Transfer Anggaran Provinsi/Kabupaten Berbasis Ekologi (TAPE/TIP) — sudah diinisiasi di beberapa daerah seperti Kalimantan Utara.
- Hibah daerah — untuk konservasi taman nasional dan program lingkungan lainnya.
- Obligasi daerah — sebagai instrumen pinjaman berlandaskan regulasi khusus.
- Skema REDD+ dan Payment for Ecosystem Services — sudah diterapkan di beberapa provinsi.
- Pengembangan ekowisata — sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD).
“Dukungan dari konsultan dan donor internasional sangat terbuka, asalkan ada inisiatif dan proposal yang matang,” tegas Boby. (TR Network)