JAKARTA – Pangan telah menjadi kebutuhan paling mendasar makhluk hidup. Dalam konteks bernegara, karena pangan adalah hak asasi maka pemerintah wajib memenuhi kebutuhan pangan bagi rakyatnya. Bak gayung bersambut, Jokowi sejak periode pemerintahan pertamanya menjanjikan rakyat Indonesia akan berdaulat atas pangannya.
Satu dekade sudah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi), menjadi pertanyaan rakyatnya apakah kedaulatan pangan sudah tercapai? Bagaimana catatan atas capaian yang diraih melalui program-programnya?
Tejo Wahyu Jatmiko dari Perkumpulan Indonesia Berseru , mengutip pernyataan Jokowi dalam kegiatan kegiatan lain, menyatakan bahwa kedaulatan pangan era Jokowi “sudah tapi belum…”. Mengapa demikian? Beberapa upaya merealisasikan janji kampanye sudah dilakukan namun seringkali berbeda dengan tujuannya atau seringkali terkesan setengah hati. Bahkan seringkali kontra produktif.
“Jokowi berani mengibarkan bendera kedaulatan pangan, pilihan yang belum pernah diambil oleh Presiden sebelum-sebelumnya, sebagai salah satu program utamanya. Namun sayangnya kedaulatan pangan yang memerdekakan hanya sebatas janji, hanya fokus di komoditi tertentu padi, jagung, kedelai, dan itupun setengah hati (business as usual). Penilaian terhadap kebijakan/program yang sudah dilakukan Jokowi dengan menggunakan parameter kedaulatan pangan yang sederhana menghasilkan nilai merah semua. Termasuk keluaran kebijakan berupa jumlah kebutuhan produk pangan sdibandingkan target pemerintah ” terang Tejo. Konsekuensi lanjutannya adalah importasi bahan pangan yang semakin besar dan beragam, bahkan sudah masuk kedalam negara yang terjebak impor pangan.
Di sisi lain, lahan yang merupakan modal utama petani, terus mengalami konversi. Lahan pertanian semakin menyusut. “Obat”nya (solusi) dari pemerintah bukannya berupaya secara serius mencegah dan menginisasi kebijakan yang lebih baik, namun malah menawarkan program pembukaan lahan secara besar-besaran meski dengan kualitas lahan yang rendah dibanding dengan lahan pertanian yang sudah ada. Program ini dikenal dengan lumbung pangan/food estate.
Food Estate dengan luasan yang gigantic dalam dianggap lebih ekonomis jika dibandingkan lahan pertanian sempit (milik petani kecil). Apalagi program ini didorong untuk bercorak korporasi. Padahal yang seharusnya dilakukan adalah menata ulang sumber sumber agraria seperti tanah-air-benih dan input-input pertanian yang dibutuhkan produsen pangan.
“Kedaulatan pangan itu juga harus berfokus pada subyek produksi pangan yakni penghasil pangan skala keci seperti petani, pekebun-peternak dan nelayan,” ujar Tejo.
Direktur Eksekutif Sawit Watch, Achmad Surambo menambahkan, konversi lahan pangan masih terjadi di era kepemimpinan Jokowi. Kami menemukan sejumlah fakta di lapang, khususnya alih fungsi lahan pangan menjadi perkebunan sawit.
“Alih fungsi lahan pangan ke perkebunan sawit di era pemerintahan Jokowi (2015-2024) ialah seluas 698.566 Ha atau 69.856,6 Ha/tahun. Masih banyak lahan baku sawah untuk dijadikan lahan produksi pangan yang dianggap terlantar dan itu menjadi target terjadinya perubahan alih fungsi baik untuk perkebunan sawit, infrastruktur bahkan untuk pengembangan kawasan industri. Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) merupakan kebijakan pemerintah untuk melindungi lahan pertanian dari konversi. Namun efektivitas kebijakan ini masih perlu dipertanyakan mengingat masih ditemukannya alih fungsi lahan pangan,” kata Surambo.
Giorgio Budi Indrarto, Deputy Director, MADANI Berkelanjutan menambahkan bahwa, “Merujuk pada hasil riset penentuan ambang batas “cap” sawit, bahwa di Pulau Kalimantan dan Sumatera ditemukan lahan pertanian kering dan lahan pertanian basah yang telah berubah menjadi perkebunan sawit. Artinya jatah lahan untuk pangan diserobot oleh perkebunan sawit. Hal ini dikhawatirkan akan mengganggu sistem pangan Indonesia. Untuk itu, jika berbicara soal pangan maka perlu pembenahan secara menyeluruh atas pangan di Indonesia,” tambah Giorgio.
Tejo menambahkan, “Bahwa kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintahan Jokowi tidak memperbaiki kondisi pangan seperti yang dijanjikan, Justru kondisi pangan Indonesia semakin mengkhawatirkan. Jika di masa depan Kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka ingin mengatasi persoalan pangan maka harus melakukan hal yang berkebalikan dengan apa yang dilakukan Jokowi. Program yang dikembangkan harus menjadikan penghasil pangan skala kecil sebagai subyek. Dan diikuti dengan pengaturan sumber-sumber agraria bagi masyarakat serta mengunci budget untuk kedaulatan pangan sebagai bentuk komitmen yang berkelanjutan guna mengatasi persoalan pangan saat ini,” tambah Tejo. (TR Network)