JAKARTA – Indonesia memiliki kekayaan sumber daya mineral yang sangat melimpah, salah satunya Tanah Hitam.
Tanah hitam adalah tanah mineral hitam, yang memyimpan bahan organik yang tinggi pada lapisan atas sehingga berperan penting dalam ketahanan pangan dan mitigasi dampak perubahan iklim. Tanah yang subur dan produktif ini menjadi sentra produksi pertanian dunia dan berperan menambat karbon dari udara serta menyimpan stok karbon yang tinggi.
Degradasi tanah berupa erosi tanah, kehilangan karbon tanah, ketidakseimbangan hara, pendangkalan tanah, pemadatan, pemasaman tanah, dan polusi tanah merupakan ancaman utama untuk pengawetan tanah ini. Strategi multidimensi pun perlu diformulasikan untuk menjaga kelestarian tanah hitam dan memastikam berjalannya ketujuh fungsi dan jasa lingkungan tanah hitam.
Menyadari arti pentingnya tanah hitam dan ketahanan pangan, perubahan iklim, pencapaian Sustainable Development Goals (SDG), maka sebanyak 17 negara, termasuk Indonesia, serta Uni Eropa mendirikan International Network of Black Soils di bawah koordinasi Global Soil Partnership FAO. Jejaring tersebut digunakan sebagai wahana pertukaran hasil riset, pengetahuan dan pengelaman dalam pengelolaan berkelanjutan tanah hitam.
Hingga saat ini lebih dari 30 negara telah bergabung dalam jejaring internasional tersebut. Hal ini menandakan pentingnya tanah hitam di setiap negara untuk pembangunan nasional masing-masing.
Kepala Pusat Riset Tanaman Pangan, Organisasi Riset Pertanian dan Pangan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Yudhistira Nugraha mengatakan bahwa salah satu faktor keberhasilan dari produksi adalah bagaimana menyiapkan lahan atau tanah sehingga dapat menyokong produktivitas dari tanaman itu sendiri.
“Tentunya tanah hitam itu pasti akan lebih subur karena warna hitam itu identik bagus dengan kandungan karbonnya yang tinggi dan dapat menyokong produktivitas tanaman,” ungkapnya di forum webinar bertema “Pengelolaan Berkelanjutan Tanah Hitam untuk Ketahanan Pangan dan Mitigasi Perubahan Iklim”, pada Kamis, 12 Desember 2024.
Yudhistira mengatakan negara lain seperti Jepang, Ukraina, Rusia, Amerika Serikat dan lainnya memiliki luasan tanah hitam yang cukup luas.
Di Indonesia, potensi tanah hitam tersebar diberbagai lokasi seperti di Lembah Limboto, Semi Arid Nusa Tenggara Timur, Lombok Tengah dan Lembah Palu.
Saat ini isu yang sedang berkembang adalah terkait tanah yang terdegradasi, alih fungsi lahan dan kandungan C-organik tanah-tanah yang ada semakin menurun. Jika hal ini dikaitkan dengan tanah hitam maka diperlukan solusi untuk mengatasi masalah tersebut termasuk tantangan yang akan dihadapi sehingga bisa mendapatkan tanah dengan kandungan C-Organik bagus.
Di Indonesia, setiap daerah yang memiliki tanah hitam memiliki ciri khas yang berbeda-beda dalam pengolahan lahannya.
Lembah Limboto Gorontalo misalnya, merupakan lembah yang berada di wilayah Provinsi Gorontalo dengan letak sangat strategis yaitu memiliki Danau Limboto yang merupakan outlet dari 27 sungai yang masuk ke dalam danau. Selain itu, ada tiga kawasan yang disanggah atau di sokong oleh Lembah Limboto yaitu Kawasan Perkotaan Lomboto, Kawasan Perkotaan Suwawa dan Kawasan Perkotaan Gorontalo.
“Lembah Limboto juga merupakan sentra utama produksi pangan Provinsi Gorontalo, dan Kawasan Bandara Djalaludin Gorontalo yang hingga saat ini masih terus melakukan pembangunan dan perluasan area. Kemudian yang paling penting adalah terbukanya jalan Gorontalo Outer Ring Road (GORR) yang juga berdampak pada eksistensi tanah hitam yang ada di Lembah Limboto,” papar Nurdin, Dosen Universitas Negeri Gorontalo yang memaparkan materi “Pengelolaan Tanah Hitam di Lembah Limboto”.
Tanah Hitam di NTT
Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kawasannya semi-arid atau kering. Ditandai dengan beberapa ciri geologi, berupa bentang alam karst, barisan pulau vulkanik muda, alur gunung api Indonesia, dataran rendah, serta dataran tinggi.
Sebaran tanah hitam di NTT cukup merata di beberapa pulau besar yang berpenduduk, yaitu pulau Timor, Sumba, Flores dan Alor. Meski tidak dominan. Tanah hitam juga ditemukan di beberapa pulau kecil yaitu Rote, Sabu, Pantar, Lomlen dan Adonara.
Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Tanaman Pangan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Tony Basuki, memaparkan masyarakat lokal NTT mengenal tanah hitam dengan beberapa sebutan nama lokal, seperti tana metung, tana miting, rai metan, tana miteng. Para petani di NTT berpendapat bahwa tanah hitam adalah tanah subur, namun mereka kerapkali dihadapkan dengan kesulitan dalam pengendalian gulma.
“Ada juga yang menganggapnya sebagai tanah berat sehingga banyak dari mereka yang tidak mau mengolahnya dengan alasan harus menggunakan alat traktor berbiaya cukup mahal. Terutama ketika mereka dihadapkan pada kondisi tanah yang bersolum dalam dan keras, karena adanya kandungan fraksi liat yang tinggi, seperti banyak terdapat di Pulau Timor dan Sumba,” urainya.
Tony menjelaskan, tanah hitam pada beberapa jenis tanah di NTT terdiri dari Vertisol yang banyak ditemukan di Timor, Sumba dan pulau-pulau kecil. Mollisol banyak ditemukan di pulau Sumba dan sebagian Flores, Andosol banyak ditemukan di sebagian besar Flores, Adonara, Lembata, Alor dan Pantar. Kemudian Inseptisol (Vertic ustropepts & Typic Ustropepts) di Timor, Rote dan Sabu, serta sebagian kecil Flores dan Sumba.
“Terdapat beberapa tipe usaha tani berbasis tanah hitam di NTT di antaranya yaitu usaha tani ladang berbasis tanaman pangan berupa jagung, kacang-kacangan, dan ubi kayu. Usaha tani sayuran, usaha tani padi sawah, baik sawah tadah hujan maupun sawah irigasi. Kemudian agroforestry di padang penggembalaan, sebagai sumber pakan rumput untuk ternak ekstensif, serta hutan,” ungkap Tony.
Lebih lanjut Tony mengatakan, masih rendahnya pengetahuan dan keterampilan petani dalam mengolah tanah berat terutama tanah vertisol menjadi salah satu tantangan dalam pengelolaan tanah hitam di NTT.
“Kondisi tanah hitam yang sulit diolah terutama ketika kelembaban tanah yang tinggi dan kering. Pada kondisi kering, permukaan tanah menjadi pecah dan bergunduk. Sebaliknya, pada kondisi basah tanah akan mengembang dan lengket,” ungkapnya.
Apalagi, ketika tanah hitam tersebut tidak pernah diolah, cenderung menjadi lebih berat dan semakin sulit diolah. Seperti yang banyak ditemui di pulau Timor, Sumba dan sekitarnya yang tanahnya berbahan induk karts. Sebaliknya tanah hitam di Flores yang sebagian besar tanahnya berbahan induk volkan, sehingga lebih mudah diolah.
“Water available kerapkali menjadi faktor utama yang membatasi optimalisasi pengolahan tanah hitam di wilayah kering. Selain biaya tinggi untuk pengendalian gulma juga menjadi tantangan teknis lainnya dalam pengelolaan tanah hitam ini. Untuk itu pengetahuan dan kearifan lokal yang sudah ada perlu diperkuat lagi dengan pengetahuan dan teknologi modern,” ungkapnya.
salah satunya, lanjut Tony, melalui pemanfaatan pupuk organik atau an-organik, penggunaan mulsa, teknis konservasi dan teknis irigasi atau panen air hujan. Termasuk juga memanfaatkan varietas unggul baru yang adaptif dan produktif sesuai lingkungan semi-arid NTT.
“Khusus untuk pengolahan tanah hitam yang berat, diperlukan edukasi yang diikuti dengan percontohan teknis pengelolaan kepada petani oleh pendamping lapangan agar tanah hitam dapat dimanfaatkan secara optimal,” pungkas Tony.
Tanah Hitam di Sulawesi Tengah
Sulawesi Tengah memiliki posisi strategis sebagai jalur perdagangan regional di Sulawesi dan sebagai wilayah penyangga Ibu Kota Negara (IKN). Wilayah ini juga kaya akan keragaman agroekologi, mulai dari iklim kering hingga basah, dengan variasi elevasi yang lengkap. Selain itu, Sulawesi Tengah memiliki berbagai jenis tanah, termasuk tanah hitam yang subur.
Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Tanaman Pangan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Syafrudin mengatakan Sulawesi Tengah memiliki beragam komoditi unggulan seperti ; tanaman pangan (padi sawah, jagung, kedelai, padi kamba dan berbagai jenis padi ladang/gogo). Tanaman sayur (cabai, bawang merah, kentang dan tomat, bawang lokal Palu, palasa), tanaman buah (manggis, durian, jeruk dan berbagai macam durian lokal dan pisang lokal), serta tanaman perkebunan (kakao, kopi, kelapa, vanili dan cengkeh), juga peternakan (sapi potong, kambing, domba palu, sapi donggala dan ayam ras).
Ia menyebutkan, di kawasan tanah hitam komoditas yang dominan adalah hortikultura seperti ; bawang merah, bawang lokal, jagung manis, dan sayuran (bayam, kangkung). Selain itu, terdapat tanaman buah (semangka, melon, buah naga), kakao, kopi, serta palawija (kacang tanah dan ubi kayu).
Dikatakannya, tanah hitam di Sulawesi Tengah tersebar di 4 kabupaten, yaitu ; Kabupaten Poso: Napu, Kabupaten Sigi: Sidera dan Oloboju. Kabupaten Tojo Una-Una: Ampana dan Ampana Tete, dan Kabupaten Banggai: Keles, Nambu, dan Pagimana.
Menurut Syafruddin, pengelolaan tanah hitam harus disesuaikan dengan jenis komoditas yang ditanam, diantaranya ;
- Tanaman palawija (jagung, kacang tanah): menggunakan sistem Olah Tanam Minimum (OTM) atau tanpa olah tanah.
- Tanaman hortikultura (bawang merah, bayam): menggunakan metode olah tanah sempurna.
- Tanaman tahunan (kakao, kopi, buah naga): penyiapan lahan disesuaikan dengan kondisi spesifik lahan.
‘’Pentingnya pengelolaan berbasis kebutuhan komoditas agar keberlanjutan dan produktivitas tanah hitam di Sulawesi Tengah dapat terjaga,’’ tegasnya.
Metode pemupukan di lahan tanah hitam di Sulawesi Tengah dilakukan dengan cara penyebaran untuk pupuk padat dan penyemprotan untuk pupuk cair. Jenis pupuk yang digunakan meliputi pupuk organik (padat dan cair), pupuk kimia, dan pupuk hayati.
‘’Namun, dosis pemupukan masih belum mengacu pada kebutuhan tanaman, melainkan bergantung pada ketersediaan pupuk. Meski demikian, waktu pemupukan sudah sesuai dengan standar yang ditetapkan,’’ terangnya.
Sistem tanam yang diterapkan lanjut Syafruddin, mencakup tumpangsari, rotasi tanaman, dan monokultur, dengan pengendalian gulma menggunakan herbisida pratumbuh. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan secara preventif melalui penyemprotan berkala. Sistem pengairan yang digunakan adalah irigasi sprinkler dan aliran permukaan.
Teknik konservasi tanah dan air di Sulawesi Tengah telah diterapkan, seperti sistem teras bangku pada lahan dengan kemiringan rendah hingga sedang. Petani juga mempraktikkan tumpangsari, rotasi komoditas, pemanfaatan pupuk organik, dan pola tanam yang mendukung pelestarian lahan.
Namun, ia menyoroti gempa pada 2018 lalu menyebabkan kerusakan signifikan pada sarana dan prasarana pertanian. Pendampingan dan penyuluhan bagi petani juga diperlukan untuk meningkatkan pemahaman dan produktivitas mereka.
“Kami dari BRIN pernah melakukan pendampingan dan penyuluhan melalui Sistem Diseminasi Multi Chanel (SDMC) dan pola kerjasama antara periset, penyuluh, dan praktisi (petani),” ungkap Syafruddin.
Syafruddin menekankan pentingnya riset mendalam mengenai potensi dan peluang pengembangan pertanian di lahan tanah hitam Indonesia. Hal ini untuk meningkatkan produktivitas dan mendukung mitigasi perubahan iklim sebagai bagian dari program swasembada pangan nasional.
“Selain itu, diperlukan sistem pendampingan terpadu yang melibatkan pemegang kebijakan, praktisi, dan dukungan para periset,” pungkasnya.
Tanah Hitam di Lombok Tengah NTB
Luas Tanah Hitam di Nusa Tenggara Barat (NTB) mencapai 71.659 hektar, yang sebagian besar tersebar di Pulau Lombok, terutama di Kabupaten Lombok Tengah. Wilayah ini meliputi Kecamatan Jonggat, Praya, Praya Barat, Praya Barat Daya, Praya Tengah, dan Pujut.
Sebagian kecil tanah hitam juga ditemukan di Kabupaten Lombok Timur bagian selatan, seperti Kecamatan Keruak dan Sikur, serta di beberapa area di Pulau Sumbawa. Tanah ini mayoritas berada pada kemiringan 25-40%, dan sisanya tersebar pada kemiringan lebih rendah.
Menurut Peneliti Ahli Madya dari Pusat Riset Tanaman Pangan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Ahmad Suriadi, tanah hitam di NTB terbentuk dari bahan induk seperti limestone, batuan vulkanik menengah, dan marl.
“Tanah ini kaya akan kalsium dan magnesium, dengan curah hujan rendah (1.000-1.500 mm per tahun) dan dominasi lahan kering,” ujar Ahmad.
Tanah hitam yang relatif datar dan subur dimanfaatkan untuk pertanian, seperti padi, jagung, kedelai, dan hortikultura (bawang merah dan cabai). Di beberapa wilayah, sistem agroforestri dan perkebunan, seperti mete dan mangga, juga dikembangkan.
Sejarah pengelolaan tanah hitam di daerah itu dimulai dengan sistem gogorancah, yaitu penanaman padi menggunakan teknik tugal saat tanah cukup lembab. Sistem ini berhasil mendukung swasembada beras pada 1984 melalui program Operasi Tegak Makmur. Seiring waktu, inovasi seperti penggunaan herbisida dan teknologi tanpa olah tanah diperkenalkan untuk meningkatkan efisiensi dan hasil panen.
Dalam menghadapi perubahan iklim, kata Ahmad, pertanian konservasi diterapkan untuk menjaga keberlanjutan. Pendekatan ini melibatkan pengolahan tanah minimal, penggunaan cover crop, rotasi tanaman, serta pengelolaan air melalui embung.
‘’Embung di Lombok Tengah dan Lombok Timur, misalnya, berfungsi sebagai penampung air hujan untuk irigasi suplemen di musim kemarau. Saat ini terdapat sekitar 1.458 embung di Kabupaten Lombok Timur, yang meningkatkan produktivitas lahan dan pendapatan petani,” jelas Ahmad.
Ia menilai pengelolaan tanah hitam di NTB menghadapi tantangan serius, seperti perubahan iklim, degradasi lahan akibat erosi, dan alih fungsi lahan untuk pemukiman atau industri. Penurunan kandungan organik tanah akibat praktik pertanian intensif juga menjadi perhatian.
Tanah hitam NTB memiliki potensi besar untuk mendukung ketahanan pangan, produktivitas pertanian, dan ekonomi hijau. Namun, pengelolaan yang berkelanjutan dan terintegrasi menjadi kunci agar tanah ini tetap produktif dan tidak terdegradasi di masa depan.
Pendekatan konservasi berbasis ekosistem sangat penting untuk menjaga keberlanjutan tanah hitam.
“Kolaborasi antara pemerintah, masyarakat lokal, akademisi, dan sektor swasta sangat dibutuhkan, dengan masyarakat sebagai aktor utama,” pungkasnya. (TR Network)