Saat ini tambang menjadi perbicangan di media massa. Perbincangan itu berkisar soal pembagian konsesi atas pengelolaan tambang. Pada tahun 2024, pemerintah membuat kejutan dengan memberikan konsesi ijin usaha pertambangan untuk Organisasi Massa (ormas) agama. Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah adalah dua ormas yang menerima konsesi tambang dari pemerintah. Elite di kedua ormas agama, yang didominasi oleh wajah lama, mengabaikan aspirasi publik yang menolak konsesi tambang untuk ormas agama, termasuk aspirasi dari kaum muda di internal organisasinya sendiri.
Kejutan terus berlanjut. Pada 23 Januari 2025, elite politik di DPR yang juga didominasi wajah lama itu, seperti Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad menetapkan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) sebagai menjadi usul inisiatif DPR RI. Salah satu usulan DPR dalam RUU itu adalah pemberian ijin tambang secara prioritas pada perguruan tinggi.
Publik, sebagai pembayar pajak, dibuat heran dengan keputusan elite politik di DPR itu. Keputusan yang sangat sepihak dan tidak mewakili kepentingan publik. Keputusan itu sangat cepat di umumkan dan dibahas, minus keterlibatan publik. Sebagai pembayar pajak, publik pantas bertanya-tanya mengapa begitu cepat dan tanpa pertimbangan?
Ada agenda kepentingan ekonomi-politik apa sehingga pembahasan revisi UU Minerba dibuat tertutup dari pantauan dan partisipasi publik?
Usulan pemberian konsesi tambang ke perguruan tinggi menambah daftar panjang keraguan publik terhadap komitmen Presiden Prabowo Subianto terkait lingkungan hidup. Di tengah mulai meningkatnya kesadaran masyarakat tentang lingkungan hidup, pemberian konsesi tambang kepada perguruan tinggi harus dibaca sebagai upaya memperlemah kesadaran masyarakat atas lingkungan tersebut.
Seorang filsul Italia, Antonio Gramsci, mengungkapkan upaya memperlemah kesadaran masyarakat oleh kelas yang berkuasa sebagai sebuah hegomini. Hegomoni ini adalah upaya penundukan tanpa melalui kekerasan. Upaya hegomoni dalam konteks pemberian konsesi tambang untuk perguruan tinggi menjadi relevan karena pemerintah tidak ingin dituduh melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) bila menggunakan kekuatan dalam menundukan masyarakat yang mulai memiliki kesadaran atas lingkungan hidup.
Target dari hegomoni dalam konteks pemberian ijin tambang untuk perguruan tinggi adalah mahasiswa yang merupakan bagian dari generasi muda yang memiliki sikap kritis tinggi terhadap kebijakan di sektor sumberdaya alam. Kekritisan kaum muda itu sebenarnya sebuah keniscayaan, karena mereka yang akan mewarisi bumi ini kedepannya. Mereka tentu tidak ingin mewarisi bumi yang rusak karena aktivitas tambang. Semetara pelaku hegomoninya adalah segelintir elite tua yang ingin mempertahankan kemapanannya meskipun mengorbankan masa depan generasi muda atas kehidupan layak di bumi.
Elite-elite di kampus-kampus yang menerima konsesi tambang, akan melemahkan kesadaran kritis mahasiswanya. Elite-elite di kampus yang didominasi wajah tua akan memanfaatkan relasi kuasa yang tidak berimbang antara dosen dan mahasiswa untuk membungkam suara kritis mahasiswa. Mereka akan membuat argumentasi yang seolah-oleh logis dan ilmiah untuk mendukung pembagian konsesi tambang untuk perguruan tinggi. Pada akhirnya, para wajah tua di kampus penerima konsesi tambang, juga akan membuat argumentasi agar mahasiswa bisa menormalisasi kerusakan alam dan sosial akibat tambang.
Segelintir wajah tua di kampus penerima konsesi tambang juga akan menggunakan narasi nasionalisme sempit untuk mendukung tambang. Padahal, daya rusak tambang yang menyisakan kerusakan alam dan kemiskinan bagi masyarakat sekitar adalah bukti nyata bahwa konsesi tambang jauh dari nilai-nilai nasionalisme Indonesia. Terlebih bila kita telisik, produk tambang ternyata hanya melayani industri di negara-negara kaya, maka alih-alih membawa nilai-nilai nasionalisme, konsesi tambang justru sarat dengan nilai-nilai neo-kolonialisme.
Bagi ormas agama, konsesi tambang telah membuat ormas agama cenderung menggunakan dalih dalih agama untuk menormalisasi terjadinya kerusakan lingkungan dan sosial akibat tambang. Hal yang sama juga akan terjadi pada kampus-kampus yang nantinya mendapatkan konsesi.
Kampus-kampus itu akan memproduksi argumentasi yang seolah-olah ilmiah untuk normalisasi kerusakan ekologis dan sosial akibat tambang. Ini juga mengacaukan fungsi utama institusi perguruan tinggi dalam mendidik generasi muda agar berpikir kritis. Sebagai lembaga penelitian, perguruan tinggi yang menerima tambang akan mereproduksi penelitian-penelitian yang bias kepentingan industri tambang.
Kebebasan akademik di perguruan tinggi adalah nilai-nilai yang pertama kali akan di bumi hanguskan bila kampus menerima konsesi tambang. Jika kemudian kebebasan akademik yang dikorbankan, ini merupakan sebuah kesesatan berpikir para elite politik, bukan saja terkait pengelolaan sumberdaya alam namun juga pendidikan tinggi di Indonesia.
Bila kemudian perguruan tinggi berhasil ditaklukan, maka generasi muda adalah pihak yang pertama dan paling utama menjadi korban. Kaum muda yang menjadi mahasiswa di kampus-kampus yang menerima konsesi tambang tanpa mereka sadari diarahkan menjadi intelektual-intelektual tukang yang hanya mengabdi pada kepentingan profit. Universitas sebagai institusi pendidikan yang mampu menghasilkan intelaktual-intelektual organik yang berpikir kritis, hanya tinggal kenangan manis belaka.
Sementara, masyarakat lokal yang menjadi korban dari operasional pertambangan di tingkat lapang akan berjuang sendirian mempertahankan sumber-sumber kehidupannya. Intelektual kampus dan mahasiswa yang seringkali berjuang bersama-sama mereka, cepat atau lambat, akan meninggalkannya. Tidak ada lagi intelektual kampus dan mahasiswa yang berpikir kritis dan membela kepentingan masyarakat lokal, korban industri tambang.
Seluruh sumberdaya kampus sudah menjadi pendukung industri tambang. Tak ada tersisa keberpihakan pada korban.
Hilangnya kebebasan akademik di kampus tentu merupakan persoalan krusial. Generasi muda harus lantang bersuara menghentikan kerakusan wajah tua yang ingin mempertahankan kemapanannya dengan cara merusak alam. Generasi muda, sebagai pewaris bumi di masa depan, harus mendesak universitas-universitas di Indonesia untuk menolak konsesi tambang. Penolakan kampus terhadap tawaran konsesi tambang yang menyesatkan itu bukan saja akan mempertahankan kebebasan akademik, tapi juga ikut berperan dalam menyelamatkan alam ini.
Penulis: Adli Firlian Ilmi
Koordinator Departement Sosial-Humaniora Karya Ilmia Remaja (KIR) SMA Negeri 3 Kota Bogor