JAKARTA – Lebih dari dua dekade, pulau Halmahera di Maluku Utara menjadi sasaran empuk bagi konglomerat raksasa. Puluhan miliar dolar telah dikucurkan ke dalam zona mega tambang ini untuk tujuan perebutan pulau, penggalian tambang, dan pembangunan pabrik pengolahan nikel serta pabrik baterai.
Perluasan dan percepatan pembongkaran tubuh Halmahera ini diklaim sebagai mitigasi perubahan iklim, yang mendukung propaganda ekonomi hijau dan rendah karbon di Global South. Klaim ini tentu kontradiksi dengan realitas yang terjadi. Penambangan dan operasi pabrik smelter nikel yang dilengkapi dengan pembangkit listrik dari batubara telah memicu perluasan kerusakan daratan dan perairan Halmahera, berikut memicu kemiskinan sistemik dan terdegradasinya kesehatan warga.
Dikutip dari siaran Pers Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), contoh nyata atas realitas itu terjadi di Lelilef dan Gemaf di Halamhera Tengah, tempat dimana PT IWIP beroperasi, atau di Kawasi, pulau Obi, Halmahera Selatan tempat dimana Harita Group beroperasi. Dua wilayah itu, adalah zona pengorbanan, dimana pembongkaran nikel dan operasi pabrik smelter dan PLTU meninggalkan kerusakan, kehilangan dan mewariskan penyakit yang sulit dipulihkan, serta melenyapkan hak veto rakyat.
Hal yang sama di Halmahera bagian timur, tempat dimana PT ANTAM beroperasi. Penambangan nikel telah mengokupasi daratan, mencemari pesisir dan perairan laut, serta memporak-porandakan pulau kecil, seperti pulau Gee dan pulau Pakal.
Kini, tindak kejahatan lingkungan dan kemanusiaan itu diperparah dengan rencana penambangan nikel di gunung Watwato oleh PT Priven Lestari. Gunung Watowato ini adalah satu-satunya sumber air bagi hampir 20 ribu warga di Kecamatan Maba. Sumber air yang sama juga digunakan oleh warga di Subaim, Kecamatan Wasile, salah satu lumbung pangan (padi) terpenting di Maluku Utara.
Di gunung Watowato pula terdapat kawasan hutan lindung dan hutan desa yang telah ditetapkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI pada 2021 yang memilki fungsi sebagai wilayah resapan air dan fungsi esensial lainnya.
Dari kawasan hutan Watowato ini pula, terdapat lahan pertanian/perkebunan warga yang ditanami pala, cengkeh, dan nanas. Semua itu adalah sumber utama perekonomian warga setempat.
Kini, gunung Watowato yang esensial ini terancam dibongkar, salah satu modusnya dengan mengotak-atik RTRW Kabupaten Halmahera Timur untuk memasukan ruang tambang. Selain itu, ada dugaan upaya persekongkolan jahat antara PT Priven Lestari dan Pemda Haltim, serta KLHK yang berencana melapas status kawasan hutan itu, dengan skema pemberian Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) untuk perusahaan.
Di saat yang sama, gelombang penolakan warga justru diabaikan, bahkan ada upaya mengkriminalisasi warga menggunakan tangan aparat kepolisian. Hal ini ditandai dengan munculnya surat panggilan dari polisi terhadap tiga belas (13) orang warga Kecamatan Maba yang menolak tambang pada Juli 2023 lalu, dengan tuduhan mengada-ada, yakni penganiayaan, pengancaman, dan pengerusakan.
Untuk itu, kami warga Buli, Kecamatan Maba, Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Buli Peduli Watowato menuntut Menteri LHK, Siti Nurbaya Bakar agar: [a] Tidak mengeluarkan IPPKH untuk PT Priven Lestari; [b] Lakukan evaluasi dan cabut Izin Lingkungan PT Priven Lestari; [c] Lakukan penegakan hukum atas operasi PT Priven Lestari yang mulai membangun jalan tambang (hauling) di kawasan hutan.
Menuntut Menteri ESDM, Arifin Tasrif dan Kepala BKPM Bahlil Lahadalia agar segera mengevaluasi dan mencabut Izin Tambang PT Priven Lestari.
Menuntut Kapolri RI, Listyo Sigit Prabowo agar menindak bawahannya di Polres Halmahera Timur agar tidak bersekongkol dengan perusahaan, apalagi melakukan kriminalsiasi. (TR Network)