Oleh: Adli Firlian Ilmi*
Perubahan iklim telah menjadi isu global yang mendesak, dengan dampak yang dirasakan di seluruh dunia. Laporan terbaru menunjukkan bahwa bencana alam yang disebabkan oleh perubahan iklim telah mengakibatkan lebih dari 20 juta orang kehilangan rumah setiap tahunnya. Di Asia, hampir 80 persen bencana alam diakibatkan oleh perubahan iklim.
Dalam konteks ini, transisi energi menjadi agenda penting yang dibahas dalam berbagai konferensi internasional, termasuk Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim. Sebagai salah satu negara penghasil batubara terbesar, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam melakukan transisi energi. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, Indonesia memerlukan dana sebesar US$ 5,7 miliar untuk mendukung transisi ini. Negara-negara maju berusaha membantu dengan menggalang pendanaan melalui skema Just Energy Transition Partnership (JETP). Namun, skema ini juga menimbulkan pertanyaan mengenai keadilan dan keberlanjutan.
Meskipun JETP menawarkan harapan untuk transisi energi yang lebih bersih, lebih dari 90% dana yang dialokasikan berasal dari utang. Hal ini dapat menambah beban keuangan bagi Indonesia dan menciptakan ketidakadilan antara negara maju dan negara berkembang. Selain itu, proyek-proyek energi terbarukan berskala besar sering kali menimbulkan konflik dengan masyarakat lokal yang merasa terpinggirkan.
Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di Poco Leok, Flores, adalah contoh konkret dari penolakan masyarakat terhadap proyek yang dianggap merugikan lingkungan mereka. Penolakan serupa juga terjadi di Rempang terkait proyek Ecocity yang melibatkan pabrik panel surya. Masyarakat lokal sering kali merasa bahwa proyek-proyek ini tidak memberikan manfaat langsung bagi mereka dan justru merusak ekosistem.
Transisi energi memiliki dua wajah: satu sisi menunjukkan potensi pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK), sementara sisi lainnya mencerminkan bentuk ketidakadilan sosial dan ekologis bagi lingkungan. Ketika agenda transisi energi didominasi oleh kepentingan pemilik modal besar, dampak negatif terhadap masyarakat lokal dan lingkungan menjadi hal yang tak terhindarkan.
Dalam konteks Indonesia, laporan dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan bahwa banyak pemain bisnis di sektor energi terbarukan adalah sekelompok elite ekonomi-politik yang sebelumnya terlibat dalam bisnis energi fosil. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa proyek-proyek energi terbarukan berskala besar dapat menjadi agenda untuk akumulasi kapital bagi segelintir orang, bukan solusi bagi masyarakat luas.
Masyarakat perlu mengambil peran aktif dalam mendefinisikan ulang bagaimana agenda transisi energi berkelanjutan ini. Alih-alih bergantung pada proyek-proyek berskala besar yang dikelola oleh korporasi besar, pengembangan energi terbarukan berbasis komunitas dapat menjadi jalan alternatif yang lebih berkelanjutan dan inklusif bagi masyarakat Indonesia.
Model ini tidak hanya mengurangi konflik kepetingan, tetapi juga memberdayakan ekonomi rakyat. Pengembangan energi terbarukan berbasis komunitas dapat menciptakan pundi-pundi lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa merusak lingkungan. Oleh karena itu, penting bagi pemangku kebijakan untuk mempertimbangkan opsi ini dalam merancang sistematika kebijakan energi berkelanjutan di masa yang akan datang.
Transisi energi adalah langkah penting menuju keberlanjutan, tetapi harus dilakukan dengan cara yang adil dan inklusif. Dengan memprioritaskan pengembangan energi terbarukan berbasis komunitas, Indonesia dapat mengurangi ketidakadilan sosial dan memastikan bahwa manfaat dari transisi ini terasa oleh semua golongan masyarakat. Keputusan yang diambil hari ini akan menentukan langkah kedepan Indonesia di masa depan, generasi muda saat ini mengantungkan harapannya untuk dalam menghadapi tantangan perubahan iklim global, yang sudah ada maupun yang akan datang pada nantinya.
*Coordinator of Youth Engagement for the Social Studies of One World Foundation Indonesia.
*Koordinator departemen Sosial-Humaniora Karya Ilmia Remaja (KIR) serta Murid SMA Negeri 3 Kota Bogor.