JAKARTA – Indonesia diam-diam merangsek ke posisi ketiga dunia sebagai penghasil emisi metana terbesar dari tambang batu bara. Fakta mencengangkan ini terungkap dalam laporan terbaru Global Methane Tracker 2024 dari Badan Energi Internasional (IEA)—sebuah sinyal bahaya baru yang mengancam masa depan iklim Indonesia dan dunia.
Laporan IEA mencatat, pada 2024, tambang batu bara Indonesia melepaskan sekitar 2,4 juta ton metana ke udara. Bila dikonversi, dampaknya setara dengan 198 juta ton karbon dioksida (CO₂) — bahkan 26% lebih besar dibandingkan total emisi sektor transportasi Indonesia pada 2019.
Metana, gas rumah kaca yang 80 kali lebih kuat dari CO₂ dalam jangka pendek, mempercepat pemanasan global dengan kecepatan yang tak bisa dianggap remeh.
“Ini bukan sekadar angka. Ini peringatan keras tentang bagaimana tambang batu bara kita diam-diam menyumbang pada krisis iklim global,” ujar Dody Setiawan, Analis Iklim dan Energi dari Ember Indonesia dikutip dari keterangannya, Kamis, 8 Mei 2025.
Yang lebih mengejutkan, ada jurang menganga antara temuan IEA dan data resmi pemerintah Indonesia. Dalam laporan ke UNFCCC pada 2019, Indonesia hanya melaporkan 0,1 juta ton metana—hanya seperdua puluh empat dari temuan IEA.
“Angka pemerintah jauh dari kenyataan lapangan. Intensitas metana 12,5 kali lebih tinggi dari yang dilaporkan,” tambah Dody.
Ini menandakan lemahnya sistem pelaporan emisi di Indonesia, yang membuka celah besar dalam pengendalian dampak lingkungan.
Mengapa Indonesia Harus Bertindak Sekarang?
Ember Indonesia menegaskan, ada tiga langkah mendesak yang harus dilakukan yakni ukur ulang emisi tambang secara akurat dengan teknologi terbaru, kembangkan faktor emisi khusus tiap wilayah, agar data tidak lagi seragam dan menyesatkan, kemudian perbarui metode estimasi, karena pendekatan lama tidak lagi relevan.
Dengan data akurat, perusahaan tambang bisa lebih transparan dan bertanggung jawab dalam mengelola emisinya.
IEA menegaskan, pengurangan emisi metana tidak butuh teknologi mahal. Banyak solusi praktis bisa langsung diterapkan dengan biaya rendah, seperti penangkapan gas metana saat penambangan.
Karena metana hanya bertahan 12 tahun di atmosfer, dibandingkan CO₂ yang bertahan ratusan tahun, menurunkan emisi metana bisa memberikan dampak positif dalam waktu singkat.
Selain memicu pemanasan global, metana juga menciptakan ozon troposfer — polutan berbahaya yang merusak kesehatan dan lingkungan.
Sebagai negara yang telah bergabung dalam Global Methane Pledge, Indonesia berkomitmen menurunkan emisi metana 30% pada 2030. Tanpa data akurat dan langkah konkret, komitmen itu berisiko tinggal janji.
Kini saatnya Indonesia berbenah — bukan hanya demi citra internasional, tapi demi masa depan lingkungan dan kesehatan rakyatnya. (TR Network)