LUKSEMBURG – Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFCCC) tahun 2024, yang lebih dikenal dengan COP29 akan digelar di Baku, Azerbaijan, bulan depan.
Pemerintah negara-negara Eropa kembali berjanji melanjutkan kontribusi pada janji sebesar US$100 miliar untuk membantu negara berkembang mitigasi dan beradaptasi dampak perubahan iklim.
Menteri-menteri keuangan Uni Eropa menegaskan kembali komitmennya akan membantu negara berkembang menanggung beban perubahan iklim. Mereka juga berjanji “terlibat dengan konstruktif” dalam perundingan untuk meningkatkan janji pendanaan iklim.
Dikutip dari Euro News, Senin, 14 Oktober 2024, pada pertemuan Dewan Uni Eropa di Luksemburg, menteri-menteri keuangan Eropa mengungkapkan keprihatinan mereka tahun 2023 merupakan “Tahun terpanas yang tercatat”. Sementara suhu rata-rata bumi di 1,45 derajat Celsius di atas masa pra-industri.
Mereka juga khawatir dengan pecahnya rekor suhu laut, kenaikan permukaan laut dan mencairnya gletser. Berdasarkan Perjanjian Paris, negara-negara maju termasuk negara-negara Uni Eropa plus Australia, Kanada, Selandia Baru, Norwegia, Swiss, Turkiye, Inggris dan Amerika Serikat (AS) diharapkan menggelontorkan dana untuk aksi iklim di negara berkembang sebesar US$100 miliar per tahun dari tahun 2020.
Namun, target itu baru tercapai pada 2022, dua tahun setelah tenggat waktu, ketika total dana iklim global mencapai US$116 miliar. Sekitar seperempatnya dari anggaran Uni Eropa, Dana Pembangunan Eropa dan Bank Investasi Eropa (EIB).
Namun, menjelang COP29 yang akan digelar mulai 11 November mendatang perdebatan mengenai dana iklim setelah 2025 yang dikenal “target pendanaan iklim kolektif baru yang terukur” akan berlangsung panas.
Sejumlah pihak di Perjanjian Paris, termasuk Uni Eropa mendesak sejumlah negara juga ikut berkontribusi. Termasuk China dan negara-negara produsen minyak dan gas di Teluk Arab.
Menanggapi laporan dari Luksemburg, organisasi lingkungan hidup Greenpeace mengatakan pemerintah-pemerintah Eropa gagal mengakui tanggung jawab industri bahan bakar fosil terhadap perubahan iklim.
“Peristiwa iklim ekstrem melanda negara-negara di seluruh dunia, sementara penghasil polusi besar terus mengeruk keuntungan yang memecahkan rekor,” kata Lorelei Limousin dari Greenpeace Uni Eropa.
Ia menambahkan sudah waktunya pemerintah-pemerintah negara Eropa dan Uni Eropa meminta pertanggungjawaban industri bahan bakar fosil untuk membayar kerusakan dan penderitaan yang mereka timbulkan.
Greenpeace mengatakan Climate Action Network memperkirakan negara-negara berkembang membutuhkan sekitar US$1 triliun per tahun dari negara-negara kaya untuk mengatasi dampak perubahan iklim. Greenpeace juga mendesak negosiator Uni Eropa di Baku untuk mendorong peningkatan dana dan pajak bagi para penghasil polusi. (TR Network)