JAKARTA – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) terus melakukan pembaruan teknologi sebagai upaya mitigasi perubahan iklim global yang semakin kompleks dan dinamis.
“BMKG terus berupaya mengembangkan teknologi sistem peringatan dini cuaca dan iklim. Begitu juga dengan sistem observasi yang didukung dengan sistem informasi. Dengan begitu, masyarakat yang kerap terdampak perubahan iklim seperti nelayan dan petani dapat memantau dan cepat beradaptasi pula,” ungkap Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati saat Rapat Prakiraan Musim Hujan 2021/2022 secara virtual, dikutip Rabu (4/8/2021).
Dwikorita mengatakan, pembaruan teknologi menjadi sangat penting agar dampak perubahan iklim yang begitu cepat bisa dimitigasi dengan baik. Selain itu, untuk menentukan langkah serta aksi yang diperlukan untuk beradaptasi dengan situasi tersebut.
“Meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi salah satu penyebab perubahan iklim global. Kita harus cepat memahami, beradaptasi, dan menyesuaikan diri dengan fenomena ini,” tuturnya.
Menurut Dwikorita, salah satu fenomena perubahan iklim yang dapat dirasakan adalah masih turunnya hujan di sejumlah wilayah di Indonesia meskipun saat ini (Juli-red), Indonesia tengah berada di musim kemarau.
Fenomena ini, kata dia, telah diprediksi BMKG sejak Maret 2021 lalu, dimana hasil analisis BMKG menunjukkan bahwa kondisi curah hujan di atas normal terjadi hampir di sebagian besar wilayah Indonesia. Kondisi ini mirip dengan tahun lalu, ketika curah hujan bulanan di atas normal terjadi di banyak wilayah Indonesia.
“Situasi dan kondisi ini akibat letak geografis Indonesia yang berada di antara dua benua dan samudra sehingga cuaca dan iklim dipengaruhi interaksi yang terjadi diantara keduanya. Gangguan gelombang atmosfer dan gerak semu matahari juga memberi pengaruh terhadap situasi ini,” imbuhnya.
“Bulan Juli yang umumnya ditandai dengan kondisi kering di wilayah Indonesia bagian selatan, seperti Jawa, Bali, NTB dan NTT, ternyata pada saat yang bersamaan justru merupakan periode puncak hujan bagi sebagian wilayah yang lain, yang berpotensi menimbulkan bencana banjir,” tambah dia.
Saat masyarakat sedang waspada pada potensi bencana kebakaran hutan dan lahan akibat kemarau, di saat bersamaan, masyarakat juga perlu waspada terhadap potensi bencana banjir.
Dwikorita mengatakan, inovasi teknologi yang dilakukan BMKG saat ini diarahkan untuk mampu menangkap indikasi fenomena-fenomena cuaca dan iklim diluar kondisi iklim yang normal. Dengan demikian, informasi-informasi yang dihadirkan BMKG dapat mengantisipasi dampak negatif akibat anomali cuaca dan iklim tersebut di berbagai sektor.
130 Kejadian Bencana Selama Juli 2021
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sebanyak 130 bencana alam terjadi selama periode Juli 2021. Dari jumlah itu, bencana hidrometeorologi masih mendominasi, seperti banjir, angin puting beliung dan tanah longsor.
“Data BNPB dari 1 hingga 31 Juli 2021 menyebutkan bahwa kejadian bencana tertinggi yaitu banjir dengan 53 kali, disusul dengan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) 42, angin puting beliung 22, tanah longsor 11, gempa 1 dan kekeringan 1,” kata Plt. Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari dalam keterangan pers, Selasa (3/8).
Muhari menyebut sejumlah kejadian ini mengakibatkan korban meninggal dunia 4 jiwa dan 1 lainnya hilang. Rincian korban banjir sebanyak 2 orang, angin puting beliung 2 dan tanah longsor 1. “Jumlah warga mengungsi pada Juli lalu sebanyak 215.865 jiwa,” sebut Muhari.
Selain itu, bencana selama Juli 2021 mengakibatkan total jumlah kerusakan rumah sebanyak 767 unit, fasilitas umum 13 dan jembatan 29. Jumlah kerusakan di sektor pemukiman dikategorikan dalam tingkatan rusak berat dengan jumlah 232 unit, rusak sedang 255 dan rusak ringan 280.
Muhari mengatakan, kerusakan rumah tertinggi diakibatkan angin puting beliung sebanyak 352 unit, disusul banjir 383 dan tanah longsor 21. Ini merupakan analisa penyebab kerusakan yang dilihat dari jenis bencana.
“Tak hanya bencana hidrometeorologi, bencana geologi, yaitu gempa juga berdampak pada kerusakan rumah dengan total 11 unit. Rincian kerusakan rumah akibat gempa yaitu rusak berat 2 unit dan rusak sedang 9,” ujar Muhari. (ATN)